Langsung ke konten utama

Menjauh dari Chat dan Media Sosial: Ketika Kehidupan Tanpa Obrolan Terlihat Aneh

Ketika melihat seseorang yang jarang terlibat dalam percakapan atau aktif di media sosial, terkadang kita merasa heran. Rasanya seolah-olah kehidupan mereka tidak ada, jarang meng-update status, tidak banyak berbicara di grup, dan kurang terlihat dalam aktivitas online. Hal ini bisa membuat kita bertanya-tanya, apakah mereka baik-baik saja atau malah merasa hampa tanpa interaksi sosial?

Bagi sebagian orang, termasuk saya pribadi, berkomunikasi dengan orang lain melalui pesan atau media sosial menjadi sesuatu yang rutin. Namun, ada momen ketika kehidupan tanpa obrolan terlihat aneh. Terkadang, kita merasa cemas dan bertanya-tanya mengapa seseorang tidak merespon pesan kita. Apakah mereka sibuk? Apakah kita kurang menarik dalam percakapan?

Penting untuk diingat bahwa setiap orang memiliki preferensi dan gaya hidup yang berbeda. Ada yang merasa nyaman dengan tingkat interaksi sosial yang minim, bukan berarti mereka tidak bahagia atau tidak memiliki kehidupan yang bermakna. Seringkali, orang yang jarang terlihat online atau aktif di media sosial justru menikmati kedamaian dan privasi mereka.

Bagi saya, chatting dengan orang lain bisa menjadi beban pikiran. Terkadang, terlalu banyak berpikir tentang respon atau ketidakrespon seseorang dapat membuat pikiran menjadi kacau. Overthinking mengenai alasan mengapa pesan tidak dibalas bisa menjadi pengekang kebahagiaan dan kebebasan pikiran.

Tidak hanya itu, tekanan untuk terus mengupdate kehidupan di media sosial juga dapat menjadi beban tersendiri. Sering kali, kita merasa perlu untuk membagikan setiap momen hidup, mencari persetujuan, atau sekadar mendapatkan perhatian dari orang lain. Namun, hidup bukanlah tentang seberapa banyak orang yang menyukai atau mengomentari postingan kita.

Media sosial dan alat komunikasi seharusnya dianggap sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berbagi informasi, bukan sebagai pengganti kehidupan nyata. Terlalu banyak menggantungkan hidup pada teknologi dapat membuat kita kehilangan keseimbangan dan keaslian dalam berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.

Penting untuk diingat bahwa setiap orang memiliki cara sendiri dalam menjalani hidup. Bagi sebagian orang, mengurangi interaksi online atau media sosial justru membantu mereka untuk lebih fokus pada kehidupan nyata, merenung, dan menikmati momen-momen tanpa harus terus-menerus terhubung secara virtual.

Jadi, meskipun terlihat aneh bagi beberapa orang, hidup tanpa obrolan yang terus-menerus atau tanpa update media sosial bukanlah sesuatu yang buruk. Setiap orang memiliki kebutuhan dan preferensi masing-masing, dan penting untuk menghormati pilihan mereka. Terlepas dari seberapa sering kita berkomunikasi dengan orang lain, kebahagiaan sejati datang dari keseimbangan dan kesadaran dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...