Langsung ke konten utama

Ketika Dunia Tak Lagi Tanpa Negara: Antara Keberadaan dan Keterbatasan

Dalam dunia yang semakin terglobalisasi, mungkin sulit untuk membayangkan bahwa masih ada wilayah di mana tidak ada tanda-tanda negara. Negara, dengan segala kompleksitasnya, telah menjadi landasan bagi tatanan sosial dan politik di seluruh dunia. Secara umum, kita mengacu pada negara sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga elemen utama: masyarakat, hukum, dan wilayah. Selain itu, adanya pengakuan dari negara-negara lain terhadap entitas ini juga memainkan peran penting dalam menentukan status suatu negara.

Namun, di balik struktur dan peran yang dimainkan oleh negara, muncul pertanyaan yang menggelitik pikiran: Apakah negara sebenarnya adalah entitas yang memaksa? Apakah kita benar-benar tunduk pada negara ketika kita berada di wilayahnya? Pertanyaan-pertanyaan ini mengungkapkan kompleksitas dalam konsep negara dan kedaulatan individual.

Mulai dari awal kehidupan kita, negara memiliki peran signifikan dalam menentukan siapa kita. Saat kita dilahirkan, kita secara otomatis menjadi warga negara dari negara di mana kita lahir, dan dari situlah segala peraturan dan hak kita berasal. Inilah yang disebut dengan "ius soli" (hak tanah) di mana hak kewarganegaraan ditentukan oleh tempat kelahiran.

Selain itu, ada juga prinsip "ius sanguinis" (hak darah), yang menentukan bahwa kita mendapatkan kewarganegaraan dari orangtua kita. Jadi, jika orangtua kita adalah warga negara suatu negara, kita mungkin akan mendapatkan kewarganegaraan tersebut meskipun kita lahir di negara lain.

Jadi, dalam banyak hal, negara memainkan peran sentral dalam menentukan identitas kita. Ia menentukan hak-hak kita, kewajiban kita, dan bahkan jangkauan geografis di mana kita dapat bergerak bebas tanpa visa atau izin khusus. Namun, apakah ini berarti bahwa kita harus tunduk sepenuhnya pada negara?

Ketika kita memasuki wilayah suatu negara, kita secara tidak langsung memasuki wilayah hukum dan aturan yang ada di dalamnya. Ini adalah kenyataan tak terhindarkan. Kita tunduk pada hukum dan peraturan yang telah ditetapkan oleh negara tersebut, dan melanggarnya bisa berarti konsekuensi hukuman.

Sementara ada banyak hukum yang mendukung kebaikan umum dan perlindungan masyarakat, ada juga ketakutan bahwa negara bisa menggunakan kekuasaannya dengan cara yang kurang adil. Misalnya, dalam situasi di mana hak asasi manusia diabaikan atau sistem hukum yang tidak adil diterapkan, individu bisa merasakan dampak yang merugikan. Dalam hal ini, kontrol yang kuat dari negara bisa menjadi alat penindasan.

Selain itu, ada argumen bahwa ketika kita tunduk sepenuhnya pada negara, kita juga kehilangan sebagian kedaulatan individu kita. Ini terutama terjadi dalam sistem yang otoriter, di mana pemerintah memiliki kendali penuh atas hampir semua aspek kehidupan individu. Dalam hal ini, konsep kemerdekaan dan hak-hak individu menjadi kabur.

Meskipun kita tunduk pada negara dalam banyak aspek kehidupan kita, penting untuk diingat bahwa kewarganegaraan bukanlah segalanya. Kita masih memiliki hak-hak sebagai individu, dan banyak negara memiliki kerangka kerja hukum yang dirancang untuk melindungi hak-hak ini. Misalnya, konsep hak asasi manusia universal berupaya melindungi individu dari penindasan oleh negara.

Selain itu, sebagian besar negara juga memungkinkan warganya untuk berpartisipasi dalam proses politik, baik melalui pemilihan umum atau mekanisme lainnya. Ini memberikan kesempatan kepada individu untuk memengaruhi pembuatan keputusan yang memengaruhi mereka.

Kesimpulannya, negara memainkan peran penting dalam menentukan identitas dan aturan yang mengatur kehidupan kita. Namun, ini tidak berarti kita harus sepenuhnya tunduk pada negara. Ada ruang untuk keseimbangan antara kewarganegaraan dan kedaulatan individu. Melalui dialog dan advokasi, kita dapat berusaha memastikan bahwa negara menjalankan kekuasaannya dengan bijak dan adil, sambil tetap menjaga hak-hak individu yang mendasar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...