Langsung ke konten utama

Time Travel: Solusi atau Bencana Berlapis-Lapis

Bayangkan ini: Anda punya remote control untuk memutar waktu. Bukan sekadar memutar ulang adegan konyol di YouTube, tapi benar-benar mengulang hidup Anda dari titik tertentu. Anda bisa kembali ke masa SMA, menasihati diri sendiri untuk tidak pacaran dengan si doi yang ternyata cuma modal ganteng doang. Atau, lebih ambisius lagi, Anda bisa kembali ke zaman purba dan mencegah manusia menemukan api—tentu saja, dengan risiko kita semua masih makan daging mentah dan Instagram jadi penuh foto sashimi ala kadarnya. Tapi, sebelum Anda terlalu bersemangat, mari kita pikirkan lagi: apakah memutar waktu benar-benar solusi, atau justru bencana yang dibungkus dengan nostalgia?  

Pertama, mari kita bicara tentang paradoks. Bayangkan Anda kembali ke masa lalu dan bertemu dengan diri sendiri yang masih lugu. Anda menasihati si kecil untuk belajar lebih giat, tidak bolos sekolah, dan jangan pernah mencoba rokok. Tapi, apa yang terjadi? Si kecil malah kaget melihat sosok "Anda" yang lebih tua, lalu kabur sambil berteriak: "Hantu! Hantu!". Akibatnya, dia trauma dan malah jadi pembolos profesional. Atau, lebih parah lagi, Anda malah menginspirasi diri sendiri untuk jadi penjahat waktu karena berpikir, "Wah, ternyata time travel itu nyata! Aku bisa jadi pencuri sepanjang masa!". Jadi, alih-alih memperbaiki masa lalu, Anda justru menciptakan versi diri yang lebih buruk.  

Kedua, mari kita bicara tentang efek domino. Katakanlah Anda berhasil mencegah Perang Dunia I. Anda merasa jadi pahlawan, tapi tiba-tiba dunia justru terjerumus ke dalam Perang Dingin yang lebih panjang dan lebih brutal. Atau, Anda memutuskan untuk menyelamatkan dinosaurus dari kepunahan. Hasilnya? Manusia tidak pernah berevolusi, dan sekarang Anda hidup di dunia yang dikuasai T-Rex dengan hobi selfie. Intinya, satu perubahan kecil bisa memicu reaksi berantai yang tak terduga. Seperti puzzle, ketika Anda memindahkan satu keping, keping lain harus bergeser—dan sebelum Anda sadar, gambarnya bukan lagi Mona Lisa, tapi abstrak ala Picasso yang bikin pusing.  

Ketiga, mari kita bicara tentang moralitas. Ketika Anda mengubah masa lalu, siapa yang berhak menentukan apa yang "baik" dan apa yang "buruk"? Misalnya, Anda memutuskan untuk mencegah penemuan plastik karena ingin menyelamatkan lingkungan. Tapi, tanpa plastik, dunia medis tidak punya alat suntik steril, dan jutaan orang mati karena infeksi. Atau, Anda memilih untuk menyelamatkan satu nyawa, tapi tanpa sadar Anda menghapus keberadaan cucu-cicit mereka yang seharusnya lahir di masa depan. Jadi, siapa yang bisa bilang perubahan Anda benar-benar "baik"? Bisa jadi, yang Anda lakukan hanya mengganti satu tragedi dengan tragedi lain.  

Lalu, bagaimana dengan masa depan? Katakanlah Anda berhasil mengubah masa lalu dan kembali ke masa kini. Apa yang Anda temukan? Mungkin dunia lebih baik, atau mungkin justru lebih kacau. Tapi, yang pasti, Anda tidak akan pernah tahu apakah perubahan Anda benar-benar berdampak positif atau hanya menciptakan ilusi. Hidup itu seperti teka-teki tanpa jawaban pasti. Setiap keputusan punya konsekuensi, dan setiap perubahan punya harga. Memutar waktu mungkin terlihat seperti solusi ajaib, tapi pada akhirnya, itu hanya cara lain untuk lari dari tanggung jawab.  

Jadi, daripada bermimpi memutar waktu, mungkin lebih baik kita fokus pada masa kini. Belajar dari kesalahan, merencanakan masa depan, dan menerima bahwa hidup ini tidak pernah sempurna. Karena, pada akhirnya, waktu bukanlah musuh yang harus dikalahkan, tapi guru yang harus dihadapi. Dan, seperti kata pepatah satir: "Jika waktu adalah uang, maka memutar waktu adalah cara tercepat untuk bangkrut."* Jadi, mari kita nikmati hidup ini apa adanya—dengan segala kekacauan, kebahagiaan, dan paradoksnya. Motto hidup: "Waktu tidak bisa diputar, tapi kopi bisa diaduk. Fokus saja pada yang bisa dikontrol!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...