Didit duduk di bangku kayu yang sudah lapuk di sebuah angkringan kecil di pinggir jalan. Udara malam yang lembap menyelimuti tubuhnya, tapi yang lebih berat adalah beban di pikirannya. Gelar sarjana dengan predikat cumlaude yang ia raih dengan susah payah seolah-olah tak berarti apa-apa. Sudah berbulan-bulan ia mengirimkan lamaran kerja ke berbagai perusahaan, tapi jawaban yang ia terima selalu sama: "Maaf, posisi yang Anda lamar sudah terisi," atau "Kami akan menghubungi Anda kembali." Tapi teleponnya tak pernah berdering.
Ia menyeruput kopi hitam pahit yang sudah dingin, mencoba menenangkan diri. Matanya melirik ke sekeliling, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya dari kegagalan yang terus menghantuinya. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada seorang pria yang sedang duduk di meja sebelah. Pria itu mengenakan kaos oblong lusuh dan celana jeans robek, tapi aura percaya dirinya terpancar jelas. Didit mengenali wajah itu. Itu Jojo, teman sekelasnya dulu di SMA.
Jojo dulu bukanlah siswa yang menonjol. Ia sering bolos, nilai-nilainya pas-pasan, dan tak pernah serius belajar. Bahkan, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Tapi sekarang, Jojo terlihat begitu berbeda. Ia tersenyum lebar, berbincang dengan teman-temannya, dan sesekali tertawa terbahak-bahak. Didit penasaran, apa yang terjadi pada Jojo?
Tanpa berpikir panjang, Didit menghampiri meja Jojo. "Jojo, apa kabar?" tanyanya, mencoba menyembunyikan keheranannya.
Jojo menoleh, matanya berbinar saat mengenali Didit. "Eh, Didit! Lama banget nggak ketemu! Duduk, duduk!" serunya, menyambut Didit dengan hangat.
Didit duduk di sebelah Jojo, masih tak percaya dengan perubahan yang terjadi pada teman lamanya itu. "Kamu sekarang jadi apa, Jo? Kok keliatannya sukses banget?" tanyanya penasaran.
Jojo tersenyum lebar, lalu mengeluarkan ponselnya. "Gue sekarang jadi konten kreator, bro. Lumayan lah, banyak yang nonton. Ini, lihat aja," katanya sambil membuka aplikasi media sosial dan menunjukkan beberapa video yang ia buat.
Didit memperhatikan video-video itu dengan seksama. Isinya sederhana: Jojo melakukan hal-hal konyol, seperti terjatuh dari sepeda, mencoba makan makanan pedas sampai menangis, atau bergaya ala model tapi dengan pakaian yang norak. Tapi yang mengejutkan, video-video itu ditonton oleh ratusan ribu bahkan jutaan orang. Komentar-komentar positif membanjiri kolom komentar, dan Jojo terlihat seperti selebritas kecil di dunia maya.
"Lu nggak percaya, ya? Dulu gue yang sering bolos, nilai jelek, sekarang bisa sukses kayak gini," kata Jojo sambil tertawa. "Tapi ya gitu, bro. Zaman sekarang, orang lebih suka liat yang lucu-lucu dan konyol. Gue cuma modal nekat aja, nggak perlu pinter-pinter amat."
Didit terdiam, mencerna kata-kata Jojo. Ia merasa seperti ditampar oleh kenyataan. Selama ini, ia berusaha keras untuk menjadi pintar, meraih gelar cumlaude, tapi semua itu seolah-olah tak ada artinya. Sementara Jojo, yang dulu dianggap "bodoh" dan "malas", sekarang sukses hanya karena membuat konten-konten konyol.
"Lu nggak nyesel, Jo? Nggak pengen kuliah atau jadi orang pintar kayak gue?" tanya Didit, mencoba menyembunyikan rasa iri yang mulai menggerogoti hatinya.
Jojo menggelengkan kepala. "Nggak, bro. Gue malah bersyukur nggak kuliah. Lihat aja lu, udah susah-susah belajar, dapet cumlaude, tapi sekarang susah cari kerja. Gue? Cuma modal nekat dan sedikit kreativitas, udah bisa hidup enak. Zaman sekarang, orang lebih suka liat yang lucu-lucu daripada yang serius-serius."
Didit menunduk, mencoba menahan perasaan frustrasinya. Ia teringat betapa keras ia berusaha selama kuliah, begadang setiap malam untuk belajar, mengorbankan waktu bersenang-senang demi meraih nilai sempurna. Tapi sekarang, semua itu seolah-olah sia-sia.
"Gue nggak ngerti, Jo. Gue udah capek-capek belajar, tapi kenapa susah banget cari kerja? Sementara lu, yang dulu nggak pernah serius, sekarang sukses," keluh Didit, suaranya penuh kekecewaan.
Jojo menepuk punggung Didit. "Jangan sedih, bro. Mungkin lu cuma belum nemuin jalan yang tepat aja. Gue juga nggak pernah nyangka bakal sukses kayak gini. Tapi ya gitu, hidup ini kadang nggak adil. Orang bodoh kayak gue bisa sukses, sementara orang pinter kayak lu susah cari kerja. Tapi jangan menyerah, bro. Siapa tau suatu hari nanti lu nemuin kesempatan yang lebih baik."
Didit mengangguk, tapi hatinya masih berat. Ia merasa seperti terjebak dalam sebuah lelucon yang kejam. Ia yang dulu dianggap pintar dan berprestasi, sekarang justru merasa seperti orang yang paling bodoh. Sementara Jojo, yang dulu dianggap tak punya masa depan, sekarang hidup berkecukupan hanya karena membuat konten-konten konyol.
Mereka terus berbincang, bernostalgia tentang masa-masa SMA. Jojo bercerita tentang bagaimana ia memulai karirnya sebagai konten kreator, sambil sesekali memamerkan penghasilannya yang cukup menggiurkan. Didit hanya bisa mendengarkan, sambil mencoba menahan rasa iri dan kekecewaan yang semakin menguat.
Saat malam semakin larut, Didit pun berpamitan. Ia berjalan pulang dengan langkah berat, memikirkan semua yang telah ia dengar dari Jojo. Ia merasa seperti hidup dalam dunia yang terbalik, di mana orang bodoh lebih dihargai daripada orang pintar.
"Apakah aku salah memilih jalan?" gumam Didit dalam hati. "Apakah seharusnya aku tidak perlu belajar keras, tidak perlu meraih cumlaude? Apakah aku seharusnya menjadi bodoh seperti Jojo?"
Tapi jawabannya tak kunjung datang. Didit hanya bisa terus berjalan, membawa beban kegagalan dan penyesalan yang semakin berat. Ia tak tahu harus berbuat apa, tapi satu hal yang ia sadar: hidup ini memang tak pernah adil.
Dan di tengah kegelapan malam, Didit pun tersenyum getir, mencoba menerima kenyataan bahwa di dunia ini, terkadang kebodohan lebih dihargai daripada kepintaran.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar