Di sudut gelap sebuah gudang tua, di balik tumpukan karung beras yang sudah lapuk, hiduplah sebuah keluarga tikus. Keluarga kecil itu terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak tikus bernama Rito. Rito adalah anak tikus yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Setiap hari, ia selalu mengamati dunia di sekitarnya, terutama kehidupan manusia yang sering ia lihat dari celah-celah dinding gudang. Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya gelisah: kematian tetangga-tetangganya yang terjebak dalam perangkap tikus.
Suatu pagi, Rito kembali menyaksikan pemandangan yang menyedihkan. Tetangganya, Banyan, seekor tikus dewasa yang dikenal sebagai tulang punggung keluarganya, mati terjebak dalam perangkap tikus. Keluarga Banyan menangis pilu, meratapi kepergiannya. Rito merasa sedih dan marah. Ia tidak mengerti mengapa hal ini terus terjadi. Ia pun mendekati ayahnya, yang sedang duduk termenung di sudut gudang.
"Ayah, mengapa kita sering melihat tetangga kita mati seperti itu?" tanya Rito dengan suara gemetar.
Ayahnya menghela napas panjang. "Mereka mati karena mencari makanan, Nak. Tapi makanan itu milik manusia. Mereka tidak suka jika kita mengambilnya."
Rito mengerutkan kening. "Tapi, Ayah, mengapa manusia rela membunuh kita hanya karena mengambil sedikit makanan? Padahal, aku sering melihat mereka membuang-buang makanan. Mereka tidak menghargai apa yang mereka punya."
Ayahnya mengangguk pelan. "Entahlah, Nak. Mungkin itu sifat manusia. Mereka tamak, tapi juga boros."
Rito terdiam sejenak, memikirkan kata-kata ayahnya. "Ayah, jika manusia memang tamak dan boros, mengapa Tuhan menciptakan mereka? Bukankah dunia ini akan lebih baik tanpa mereka? Tanpa manusia, tentu kita akan hidup lebih aman. Bahkan, mereka sering tidak adil. Mereka membunuh kita hanya karena mengambil sedikit makanan, tapi mereka rela mengeluarkan banyak uang untuk memelihara anjing atau hewan lain. Mengapa kita tidak bisa menjadi hewan peliharaan mereka? Bukankah kita juga bisa hidup enak seperti itu? Apa salah kita? Kita memang ditakdirkan sebagai tikus, tapi bukan sebagai hama."
Ayahnya tersenyum sedih. "Memang benar, Nak. Dulu, kita bukanlah hama. Dahulu kala, nenek moyang kita hidup di hutan. Makanan melimpah, dan musuh kita adalah elang dan ular. Tapi seiring berjalannya waktu, hutan-hutan berubah menjadi kota. Makanan semakin sulit didapat, dan kita pun harus beradaptasi. Kita menjadi tikus pinggiran kota, hidup di antara manusia. Mereka melihat kita sebagai hama karena kita mengambil makanan mereka. Padahal, kita hanya berusaha bertahan hidup."
Rito mengangguk, tapi masih terlihat bingung. "Tapi, Ayah, mengapa kita harus hidup dalam bahaya seperti ini? Mengapa kita tidak bisa hidup damai seperti hewan lain?"
Ayahnya mengelus kepala Rito dengan lembut. "Nak, hidup sebagai tikus memang penuh tantangan. Kita ditakdirkan untuk hidup di tengah bahaya. Tapi, lihatlah, meski begitu, populasi kita tetap dominan. Kita adalah makhluk yang tangguh, mampu bertahan di segala situasi. Itulah kelebihan kita."
Rito terdiam, mencerna kata-kata ayahnya. Ia memandang keluar gudang, melihat manusia yang lalu lalang dengan aktivitas mereka. Ia masih tidak mengerti mengapa manusia bisa begitu kejam dan tidak adil. Tapi, ia juga menyadari satu hal: sebagai tikus, ia harus kuat dan cerdik untuk bertahan hidup.
"Ayah, aku tidak ingin mati seperti Banyan," kata Rito tiba-tiba. "Aku ingin hidup, tapi aku juga tidak ingin menjadi hama. Apa yang harus aku lakukan?"
Ayahnya tersenyum bangga. "Kau sudah mengambil langkah pertama, Nak. Dengan bertanya dan berpikir, kau sudah lebih baik dari kebanyakan tikus lain. Kau harus belajar, Rito. Belajar untuk hidup dengan cerdik. Jangan sembarangan mengambil makanan. Selalu waspada terhadap perangkap manusia. Dan yang paling penting, jangan pernah menyerah. Hidup ini keras, tapi selama kau punya semangat, kau akan bertahan."
Rito mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu hidupnya tidak akan pernah mudah, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia punya keluarga, dan ia punya tekad untuk bertahan.
Sejak hari itu, Rito mulai belajar. Ia mengamati pola hidup manusia, mencari celah untuk mendapatkan makanan tanpa terdeteksi. Ia juga belajar mengenali perangkap-perangkap yang sering dipasang oleh manusia. Lambat laun, Rito tumbuh menjadi tikus yang cerdik dan tangguh. Ia tidak lagi takut pada manusia, tapi ia juga tidak ceroboh.
Suatu hari, Rito melihat seorang anak manusia membuang sepotong roti ke tempat sampah. Biasanya, ia akan langsung mengambilnya, tapi kali ini ia berhenti sejenak. Ia ingat kata-kata ayahnya: "Jangan sembarangan mengambil makanan." Rito pun mengamati sekelilingnya, memastikan tidak ada perangkap atau bahaya yang mengintai. Setelah yakin aman, ia pun mengambil roti itu dan membawanya pulang ke keluarganya.
"Ayah, Ibu, lihat apa yang aku bawa!" seru Rito dengan bangga.
Ayah dan ibunya tersenyum bangga. "Kau hebat, Nak," kata ayahnya. "Kau sudah belajar menjadi tikus yang cerdik."
Rito tersenyum. Ia tahu hidupnya masih penuh bahaya, tapi ia juga tahu bahwa ia punya kemampuan untuk bertahan. Dan itu yang terpenting.
Di sudut gudang yang gelap, keluarga kecil tikus itu hidup dengan penuh harapan. Mereka tahu dunia ini keras, tapi selama mereka punya semangat dan kecerdikan, mereka akan terus bertahan. Dan Rito, si anak tikus yang penuh pertanyaan, telah menemukan jawabannya: hidup adalah tentang bertahan, bukan tentang menyerah.
**Selesai.**
Komentar
Posting Komentar