Bayangkan sebuah dunia di mana mesin-mesin cerdas telah mengambil alih hampir semua pekerjaan manusia. Robot-robot bekerja 24/7 tanpa mengeluh, tanpa cuti, dan tanpa menuntut kenaikan gaji. Pabrik-pabrik berjalan otomatis, toko-toko melayani diri sendiri, dan bahkan seni pun diciptakan oleh algoritma. Di tengah gemuruh revolusi teknologi ini, kapitalisme—sistem yang selama berabad-abad mengandalkan eksploitasi tenaga kerja manusia—tiba-tiba menemui jalan buntu. Jika tak ada lagi pekerja yang dibayar, siapa yang akan membeli produk yang dihasilkan? Inilah awal dari era post-kapitalisme: sebuah dunia yang penuh paradoks, di mana kemakmuran dan kehancuran berjalan beriringan.
Di satu sisi, post-kapitalisme menjanjikan utopia. Dengan automasi yang meluas, biaya produksi barang dan jasa turun drastis. Segala sesuatu menjadi lebih murah, bahkan mungkin gratis. Bayangkan bisa makan siang di restoran mewah tanpa perlu membayar, karena robot koki dan pelayan tak perlu digaji. Bayangkan bepergian dengan transportasi umum yang sepenuhnya otomatis, tanpa ongkos, karena energi yang digunakan berasal dari sumber terbarukan yang melimpah. Di dunia ini, konsep "uang" mungkin tak lagi relevan. Alih-alih berjuang mencari nafkah, manusia bisa fokus pada hal-hal yang benar-benar bermakna: seni, ilmu pengetahuan, atau sekadar menikmati hidup.
Tapi jangan terlalu cepat berfantasi. Post-kapitalisme juga bisa berubah menjadi distopia yang mengerikan. Bayangkan segelintir elit pemilik teknologi yang menguasai semua sumber daya, sementara mayoritas populasi terlempar ke pinggiran, menganggur dan tak punya akses ke kekayaan yang dihasilkan mesin. Tanpa sistem ekonomi yang adil, automasi hanya akan memperlebar jurang ketimpangan. Yang kaya semakin kaya, bukan karena mereka bekerja lebih keras, tapi karena mereka kebetulan punya saham di perusahaan-perusahaan teknologi raksasa. Sementara itu, yang miskin semakin terpuruk, terdampar di tengah banjir produk murah yang tak mampu mereka beli.
Lalu, bagaimana masyarakat post-kapitalisme bisa bertahan? Salah satu ide yang sering diwacanakan adalah Universal Basic Income (UBI)—jaminan pendapatan dasar untuk semua warga, tanpa syarat. Uangnya bisa berasal dari pajak perusahaan-perusahaan yang menikmati keuntungan besar berkat automasi. Dengan UBI, setiap orang punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasar, meski tak punya pekerjaan. Tapi ini bukan solusi sempurna. UBI bisa jadi bumerang jika tidak diiringi dengan perubahan sistemik. Misalnya, jika harga properti dan pendidikan tetap tinggi, uang UBI hanya akan mengalir kembali ke kantong para pemilik modal.
Alternatif lain adalah mengubah paradigma kepemilikan. Di dunia post-kapitalisme, kepemilikan pribadi mungkin tak lagi menjadi norma. Alih-alih, kita bisa beralih ke model *sharing economy* yang lebih ekstrem. Misalnya, semua mobil menjadi milik bersama, dikelola oleh sistem otomatis yang memastikan setiap orang bisa menggunakannya kapan saja. Atau, semua rumah menjadi properti publik, dengan algoritma yang mengatur rotasi penghuni berdasarkan kebutuhan. Tentu, ini butuh perubahan mindset yang radikal: dari "ini milikku" menjadi "ini milik kita".
Tantangan terbesar post-kapitalisme mungkin bukan teknologinya, tapi manusianya. Bagaimana membuat orang-orang rela berbagi ketika naluri dasar kita cenderung serakah? Bagaimana memastikan kekayaan yang dihasilkan mesin didistribusikan secara adil, bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang? Dan yang paling penting, bagaimana menemukan makna hidup di dunia di mana kerja—yang selama ini menjadi identitas utama manusia—tak lagi diperlukan?
Post-kapitalisme bisa jadi adalah kesempatan emas untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan manusiawi. Tapi ia juga bisa menjadi bencana besar jika kita tak siap menghadapinya. Di ujung jalan, pilihannya ada di tangan kita: apakah kita akan membangun utopia bersama, atau terjebak dalam distopia yang kita ciptakan sendiri? Motto baru era post-kapitalisme: "Jika mesin bisa bekerja, biarkan manusia bermimpi."
Komentar
Posting Komentar