Di tengah hiruk-pikuk dunia yang memuja kesuksesan, ada satu pertanyaan yang terus menggantung seperti bau tak sedap di ruang tamu: "Mengapa hanya segelintir orang miskin yang berhasil naik kelas, sementara sisanya terjebak dalam lumpur kemiskinan yang sama?" Apakah ini karena mereka malas? Ataukah ini adalah hasil dari sistem yang dirancang untuk memastikan bahwa tangga menuju kesuksesan hanya bisa didaki oleh mereka yang punya tali pengaman dari atas? Mari kita telusuri dengan kacamata satir, karena kadang-kadang, realita terlalu pahit untuk ditelan tanpa sedikit bumbu sindiran.
Pertama, mari kita akui bahwa ada orang miskin yang sukses. Mereka adalah pahlawan cerita rakyat modern: si penjual bakso yang jadi konglomerat, si buruh migran yang pulang membawa mobil mewah, atau si pemulung yang berhasil membangun sekolah gratis. Kisah-kisah ini dijual seperti tiket lotre: "Lihat, kamu juga bisa sukses seperti mereka! Asal rajin, jujur, dan punya mimpi besar!"* Tapi yang tidak pernah disebutkan adalah bahwa untuk setiap satu orang miskin yang sukses, ada ribuan lainnya yang terjebak dalam siklus kemiskinan tanpa harapan. Mereka bukan malas—mereka hanya tidak punya akses ke cheat code kehidupan yang dimiliki oleh segelintir orang beruntung itu.
Lalu, kemana perginya orang miskin yang gagal? Mereka menghilang dalam statistik, menjadi angka-angka dalam laporan pemerintah yang dibacakan dengan nada datar oleh pejabat berjas mahal. Mereka adalah buruh yang bekerja 12 jam sehari tapi tetap tak bisa membayar sekolah anaknya, petani yang hasil panennya habis dibeli tengkulak, atau nelayan yang melaut hanya untuk pulang dengan tangan kosong karena laut telah dikuras oleh kapal besar. Mereka berusaha keras, tapi sistem seperti mesin penghancur yang menggilas mereka tanpa ampun. Dan ketika mereka jatuh, yang terdengar bukanlah simpati, melainkan tuduhan: "Mungkin kamu kurang berdoa, kurang ikhtiar, atau kurang ikut seminar motivasi."
Sementara itu, di puncak piramida, ada orang-orang sukses yang justru bukanlah sosok baik-baik. Mereka adalah koruptor yang merampok uang rakyat, pengusaha yang memeras buruh, atau politisi yang menjual janji palsu. Mereka sukses bukan karena kerja keras, tapi karena pintar memanipulasi sistem—atau lebih tepatnya, karena sistem dirancang untuk melayani mereka. Mereka adalah produk dari "survival of the greediest", di mana moral adalah barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang punya uang untuk membeli pengacara.
Tapi jangan salahkan mereka sepenuhnya. Sistem ini adalah hasil eksperimen sosial raksasa yang dilakukan oleh pemerintah dan korporasi. Rakyat miskin adalah kelinci percobaan: diberi secuil harapan, lalu dibiarkan berlomba di arena yang tidak pernah adil. Pendidikan mahal, kesehatan mahal, bahkan mati pun mahal. Ketika mereka gagal, yang disalahkan adalah individu, bukan sistem yang menciptakan ketimpangan. *"Kamu miskin karena kamu tidak punya skill,"* kata mereka, sambil menaikkan biaya kursus yang hanya bisa diakses oleh orang kaya. *"Kamu gagal karena tidak punya jaringan,"* sambil menutup mata pada fakta bahwa jaringan terbaik adalah warisan keluarga.
Dan jangan lupakan peran agama dalam narasi ini. Orang miskin dihibur dengan janji surga, sementara orang kotor dihibur dengan istidraj—seolah-olah kesuksesan mereka adalah ujian dari Tuhan. Tapi tunggu dulu, bukankah orang miskin juga bisa masuk neraka? Bukankah mereka yang hidup dalam penderitaan juga bisa dihukum karena "kurang bersyukur"? Ini adalah permainan narasi yang licik: ketika kamu miskin, kamu disuruh bersabar; ketika kamu kaya, kamu disuruh bersedekah. Tapi tak pernah ada yang mempertanyakan mengapa ketimpangan ini dibiarkan tumbuh subur seperti jamur di musim hujan.
Pada akhirnya, kemiskinan bukanlah kegagalan individu, melainkan kegagalan sistem. Sistem yang dirancang untuk memastikan bahwa yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin terjepit. Sistem yang menjadikan rakyat sebagai bahan eksperimen, sambil berharap mereka tidak sadar bahwa mereka sedang dijadikan tumbal. Dan ketika mereka sadar, sudah terlambat—mereka sudah terjebak dalam labirin tanpa pintu keluar.
Jadi, jika kamu miskin dan gagal, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Kamu bukan malas, kamu hanya terjebak dalam permainan yang tidak pernah adil. Tapi jangan khawatir, sistem punya solusi untukmu: "Tetap semangat, terus berusaha, dan siapa tahu, suatu hari nanti kamu akan jadi cerita sukses yang dijual ke orang miskin lainnya."Motto sistem: "Kami tidak menjamin kesuksesanmu, tapi kami akan terus menjual mimpimu."
Komentar
Posting Komentar