Langsung ke konten utama

Globalisasi dan Kelas Sosial: Dari Raja ke Kapitalis Tanpa Wajah

Kita sering diberitahu bahwa globalisasi adalah jembatan yang menghubungkan dunia, menciptakan peluang, dan membawa kemajuan bagi semua. Namun, kenyataannya, globalisasi lebih mirip dengan tali tambang yang semakin mempererat jeratan bagi mereka yang sudah terbelakang, sementara yang di atas semakin nyaman di puncaknya. Dulu, di masa kerajaan, struktur sosial begitu sederhana: ada raja, bangsawan, kesatria, pedagang, petani, dan rakyat jelata. Hari ini? Feodalisme mungkin sudah pudar, tetapi kelas sosial baru yang lebih kompleks justru bermunculan, kali ini dengan kepercayaan bukan pada darah biru atau wahyu ilahi, melainkan pada selembar kertas bernama uang.

Di era modern, kita tidak hanya berbicara tentang kelas sosial dalam satu negara, tetapi juga di tingkat global. Negara-negara dikategorikan layaknya kasta dalam sistem global: ada negara maju yang bertindak sebagai raja dunia, negara berkembang sebagai bangsawan yang selalu ingin naik tahta, dan negara miskin sebagai rakyat jelata yang hanya bisa berharap belas kasih dari “penguasa dunia.” Sebuah sistem yang katanya memberikan kebebasan, tetapi justru mengekalkan ketimpangan.

Namun, di balik tirai globalisasi, ada kelompok yang jauh lebih berkuasa daripada pemimpin negara mana pun. Mereka disebut elite global—sebuah kasta tanpa wilayah, tanpa bendera, tanpa loyalitas pada satu negara pun. Mereka tidak memerlukan kursi di parlemen atau istana megah karena mereka bisa membeli keduanya. Kekuasaan mereka tidak datang dari mandat rakyat, tetapi dari kendali atas modal dan ekonomi dunia. Mereka adalah para pemilik perusahaan multinasional, bankir global, pemodal spekulatif, dan segelintir orang yang mengendalikan teknologi, data, dan media.

Ironisnya, negara—yang seharusnya menjadi entitas berdaulat—hanya menjadi pion dalam permainan mereka. Negara bukan lagi alat untuk menyejahterakan rakyat, tetapi hanya sekadar kendaraan bagi elite global untuk memperkaya diri. Ketika sebuah negara berada di ambang kehancuran, mereka dengan mudah berpindah ke tempat lain, seolah tidak ada keterikatan emosional atau moral terhadap kehancuran yang mereka tinggalkan. Negara bagi mereka hanyalah pos bisnis, bukan rumah.

Kemudian muncul narasi bahwa globalisasi membawa kesejahteraan bagi semua. Tetapi benarkah? Mungkin bagi mereka yang sudah kaya, globalisasi adalah anugerah. Mereka bisa menjual produk di mana saja, mengalihkan pabrik ke negara dengan upah buruh murah, dan menyembunyikan pajak di surga finansial. Sementara itu, bagi buruh, petani, dan masyarakat kelas bawah, globalisasi justru menghadirkan persaingan yang lebih brutal. Pekerjaan semakin tidak pasti, harga kebutuhan terus melambung, dan ketimpangan semakin melebar. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin tertindas—sebuah simfoni ekonomi yang telah dimainkan berulang kali.

Lantas, apakah kita bisa melawan sistem ini? Mengharapkan keadilan dalam globalisasi ibarat berharap singa menjadi vegetarian. Sistem ini dirancang bukan untuk memberikan keseimbangan, tetapi untuk memastikan bahwa kelas atas tetap berkuasa. Meskipun begitu, kesadaran adalah langkah pertama. Masyarakat perlu menyadari bahwa mereka bukan hanya angka dalam laporan ekonomi, melainkan manusia yang layak mendapatkan kehidupan yang adil. Tanpa kesadaran ini, kita hanya akan menjadi pion dalam permainan global yang tidak pernah berpihak kepada kita.

Pada akhirnya, globalisasi tidak menciptakan dunia yang lebih adil, tetapi mempertegas siapa yang berhak berkuasa dan siapa yang harus tetap tunduk. Sejarah memang berubah, tetapi pola penguasaan tetap sama. Dulu, kita tunduk pada raja dan bangsawan; sekarang, kita tunduk pada kapitalis tanpa wajah. Dan seperti halnya sejarah yang selalu berulang, pertanyaannya adalah: sampai kapan kita akan tetap tunduk?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...