Hidup di era ketidakpastian ibarat bermain Russian Roulette dengan peluru yang jumlahnya tak terhitung. Satu hari kamu bisa merasa seperti raja dunia, esoknya jadi pengemis di kerajaan sendiri. Sekolah? Itu hanya tiket masuk ke arena gladiator bernama realitas. Setelah lulus, kamu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang semuanya terasa seperti pilihan antara terjun dari lantai 10 atau lantai 20. Kuliah di mana? Kerja di mana? Jurusan apa? Pekerjaan apa? Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung bak pedang Damocles, sementara kamu hanya bisa berharap tali pengikatnya tidak putus sebelum kamu menemukan jawaban.
Tapi tunggu dulu! Katanya, rezeki sudah diatur? Ya, mungkin diatur oleh semacam algoritma kosmik yang lebih rumit dari coding NASA. Kita hanya diberi tahu: "Berusahalah, nanti juga dapat!"—seolah-olah hidup adalah mesin slot yang akan mengeluarkan jackpot asal kita terus menarik tuas. Padahal, kenyataannya, tuas itu seringkali macet, dan jackpot-nya cuma mimpi basah di siang bolong. Kerja keras? Itu sudah jadi kewajiban. Tapi keberuntungan? Itu barang mewah yang hanya dimiliki segelintir orang—biasanya mereka yang punya koneksi, keluarga kaya, atau setidaknya akun Instagram dengan followers jutaan.
Pengangguran? Itu sudah jadi semacam gelar kehormatan bagi generasi muda. Sarjana? Itu hanya bukti bahwa kamu bisa bertahan 4 tahun (atau lebih) di sistem yang menjanjikan masa cerah, tapi pada akhirnya hanya memberimu sertifikat dan utang. Kerja kerasmu di kampus, nilai A-mu, organisasi yang kamu ikuti—semua itu seolah-olah hilang ditelan bumi begitu kamu melangkah keluar dari gerbang kampus. Yang tersisa hanyalah deretan lamaran kerja yang entah berakhir di mana. *"Kami akan menghubungi Anda"*—kalimat yang lebih samar dari ramalan cuaca.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertama, terimalah bahwa hidup ini absurd. Kamu bisa merencanakan segalanya sejak kecil: dokter, insinyur, presiden—tapi pada akhirnya, hidup akan menertawakanmu dengan memberikanmu pekerjaan sebagai content moderator yang tugasnya menghapus komentar kasar di media sosial. Kedua, jangan terlalu serius dengan konsep "kesuksesan". Sukses itu seperti hantu: semua orang bicara tentangnya, tapi tak ada yang benar-benar tahu bentuknya. Ketiga, temukan cara untuk bertahan. Jika uang tak kunjung datang, jadilah kreatif. Jual barang bekas, buka jasa curhat online, atau jadi influencer dadakan dengan konten "Aku Bangga Jadi Pengangguran".
Yang terpenting, jangan biarkan ketidakpastian menggerogoti jiwamu. Hidup ini memang seperti roller coaster yang rusak: naik turun tak karuan, dan kadang berhenti di tengah udara. Tapi ingat, bahkan di tengah kekacauan, kamu masih punya satu hal yang tak bisa dirampas: kemampuan untuk tertawa. Tertawa pada absurditas, pada sistem yang kacau, pada dirimu sendiri yang masih bertahan meski tak tahu harus ke mana.
Pada akhirnya, ketidakpastian adalah guru terbaik. Ia mengajarkanmu bahwa rencana hanyalah ilusi, dan kendali adalah mitos. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang pasti: selama kamu masih bisa bernapas, masih bisa berusaha, dan masih bisa tertawa, kamu sudah menang. Motto hidup baru: "Hidup ini kacau, tapi setidaknya aku masih punya WiFi."
Komentar
Posting Komentar