Di sebuah peternakan kecil di pedesaan, seekor anak ayam bernama Kiki menetas dari telurnya. Ia adalah satu dari puluhan anak ayam yang lahir pada musim itu. Sejak kecil, Kiki selalu penasaran dengan dunia di sekitarnya. Ia sering bertanya-tanya mengapa dirinya dan keluarganya hidup di dalam kandang yang sempit, hanya diberi makan oleh manusia, dan tidak pernah bisa menjelajah dunia luar.
Suatu hari, Kiki mendekati induknya, yang sedang duduk di sudut kandang sambil mematuk-matuk biji-bijian yang diberikan oleh peternak. "Ibu," tanya Kiki dengan suara kecil, "mengapa kita adalah ayam? Apa pekerjaan kita sebenarnya?"
Induknya menghentikan aktivitasnya dan memandang Kiki dengan tatapan lembut namun sedih. "Nak, pekerjaan kita hanyalah bekerja untuk makan, makan, dan menjadi petelur atau pedaging," jawab induknya perlahan. "Jika kita adalah ayam petelur, hidup kita masih aman selama kita masih bisa bertelur. Tapi, ketika kita sudah tidak bisa bertelur lagi, kita akan mati. Sedangkan jika kita adalah ayam pedaging, nasib kita sudah jelas: kita akan disembelih dan dijadikan makanan untuk manusia."
Kiki terdiam sejenak, mencerna kata-kata induknya. "Apakah kita ditakdirkan untuk itu, Ibu? Apakah kita tidak bisa hidup lebih baik lagi dari ini? Hidup hanya sekedar makan, lalu mati sebagai makanan?"
Induknya menghela napas. "Nak, itu sudah menjadi takdir kita. Kita dilahirkan sebagai ayam, dan itulah jalan hidup kita. Manusia memiliki kuasa atas kita. Mereka yang memberi kita makan, mereka juga yang menentukan nasib kita."
Tapi Kiki tidak puas dengan jawaban itu. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan takdirnya. "Aku tidak ingin hidup seperti ini, Ibu. Aku ingin merubah nasib kita. Aku ingin kita bisa hidup bebas, tidak hanya sekedar menunggu untuk mati."
Induknya memandang Kiki dengan sedih. "Nak, kau masih kecil. Kau belum mengerti betapa kerasnya dunia ini. Bahkan jika kau bisa keluar dari kandang ini, ada bahaya lain yang menunggu. Musang, elang, dan hewan buas lainnya akan memangsamu. Di luar sana, hidup tidak lebih baik dari di sini."
Tapi Kiki tidak menyerah. Ia bertekad untuk merubah nasibnya dan nasib ayam-ayam lainnya. Setiap hari, ia mencoba mencari celah untuk keluar dari kandang, tapi selalu gagal. Kandang itu terlalu kokoh, dan peternak selalu waspada.
Seiring berjalannya waktu, Kiki tumbuh menjadi ayam dewasa. Ia mulai menyadari betapa sulitnya merubah takdir. Meskipun ia masih memiliki keinginan untuk bebas, ia juga mulai memahami kenyataan pahit yang dihadapi oleh ayam-ayam seperti dirinya. Ia melihat teman-temannya yang sudah tidak bisa bertelur lagi diambil oleh peternak dan tidak pernah kembali. Ia juga melihat ayam-ayam pedaging yang dibawa ke tempat penyembelihan.
Suatu hari, Kiki mencoba lagi untuk keluar dari kandang. Ia berhasil menemukan celah kecil di pagar kandang dan berusaha memaksakan diri keluar. Tapi, begitu ia berada di luar, ia langsung dihadapkan pada kenyataan yang menakutkan. Seekor elang besar terbang di atasnya, dan Kiki langsung lari ketakutan. Ia bersembunyi di balik semak-semak, jantungnya berdebar kencang. Ia baru menyadari betapa berbahayanya dunia luar.
Kiki akhirnya kembali ke kandang dengan perasaan campur aduk. Ia merasa sedih karena tidak bisa merubah nasibnya, tapi juga merasa lega karena masih bisa hidup. Ia mulai memahami kata-kata induknya: hidup di dalam kandang mungkin tidak bebas, tapi setidaknya ia masih aman.
Sejak saat itu, Kiki memutuskan untuk menerima takdirnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa melawan kuasa manusia, dan dunia luar terlalu berbahaya untuk dihadapi. Ia memilih untuk hidup dengan apa yang ia miliki, menikmati setiap hari yang diberikan, dan berusaha untuk tidak terlalu memikirkan nasibnya di masa depan.
Tapi, di dalam hatinya, masih ada sedikit harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, mungkin ada perubahan. Mungkin ada cara untuk hidup yang lebih baik, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk semua ayam di peternakan itu.
Sampai akhir hayatnya, Kiki tetap menjadi ayam yang penuh semangat. Meskipun ia tidak bisa merubah takdirnya, ia tidak pernah menyerah untuk bermimpi. Dan meskipun hidupnya hanya sekedar makan, bertelur, dan menunggu hari kematiannya, ia tetap berusaha untuk hidup dengan bahagia.
Kiki mungkin hanya seekor ayam kecil di peternakan, tapi ceritanya adalah cerita tentang keberanian, harapan, dan penerimaan. Ia mengajarkan kita bahwa meskipun kita tidak bisa merubah takdir kita, kita masih bisa memilih bagaimana kita menghadapinya. Dan itu, mungkin, adalah pelajaran terbesar yang bisa kita ambil dari seekor anak ayam kecil yang penuh mimpi.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar