Langsung ke konten utama

Takdir Sang Anak Ayam

Di sebuah peternakan kecil di pedesaan, seekor anak ayam bernama Kiki menetas dari telurnya. Ia adalah satu dari puluhan anak ayam yang lahir pada musim itu. Sejak kecil, Kiki selalu penasaran dengan dunia di sekitarnya. Ia sering bertanya-tanya mengapa dirinya dan keluarganya hidup di dalam kandang yang sempit, hanya diberi makan oleh manusia, dan tidak pernah bisa menjelajah dunia luar.

Suatu hari, Kiki mendekati induknya, yang sedang duduk di sudut kandang sambil mematuk-matuk biji-bijian yang diberikan oleh peternak. "Ibu," tanya Kiki dengan suara kecil, "mengapa kita adalah ayam? Apa pekerjaan kita sebenarnya?"

Induknya menghentikan aktivitasnya dan memandang Kiki dengan tatapan lembut namun sedih. "Nak, pekerjaan kita hanyalah bekerja untuk makan, makan, dan menjadi petelur atau pedaging," jawab induknya perlahan. "Jika kita adalah ayam petelur, hidup kita masih aman selama kita masih bisa bertelur. Tapi, ketika kita sudah tidak bisa bertelur lagi, kita akan mati. Sedangkan jika kita adalah ayam pedaging, nasib kita sudah jelas: kita akan disembelih dan dijadikan makanan untuk manusia."

Kiki terdiam sejenak, mencerna kata-kata induknya. "Apakah kita ditakdirkan untuk itu, Ibu? Apakah kita tidak bisa hidup lebih baik lagi dari ini? Hidup hanya sekedar makan, lalu mati sebagai makanan?"

Induknya menghela napas. "Nak, itu sudah menjadi takdir kita. Kita dilahirkan sebagai ayam, dan itulah jalan hidup kita. Manusia memiliki kuasa atas kita. Mereka yang memberi kita makan, mereka juga yang menentukan nasib kita."

Tapi Kiki tidak puas dengan jawaban itu. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan takdirnya. "Aku tidak ingin hidup seperti ini, Ibu. Aku ingin merubah nasib kita. Aku ingin kita bisa hidup bebas, tidak hanya sekedar menunggu untuk mati."

Induknya memandang Kiki dengan sedih. "Nak, kau masih kecil. Kau belum mengerti betapa kerasnya dunia ini. Bahkan jika kau bisa keluar dari kandang ini, ada bahaya lain yang menunggu. Musang, elang, dan hewan buas lainnya akan memangsamu. Di luar sana, hidup tidak lebih baik dari di sini."

Tapi Kiki tidak menyerah. Ia bertekad untuk merubah nasibnya dan nasib ayam-ayam lainnya. Setiap hari, ia mencoba mencari celah untuk keluar dari kandang, tapi selalu gagal. Kandang itu terlalu kokoh, dan peternak selalu waspada.

Seiring berjalannya waktu, Kiki tumbuh menjadi ayam dewasa. Ia mulai menyadari betapa sulitnya merubah takdir. Meskipun ia masih memiliki keinginan untuk bebas, ia juga mulai memahami kenyataan pahit yang dihadapi oleh ayam-ayam seperti dirinya. Ia melihat teman-temannya yang sudah tidak bisa bertelur lagi diambil oleh peternak dan tidak pernah kembali. Ia juga melihat ayam-ayam pedaging yang dibawa ke tempat penyembelihan.

Suatu hari, Kiki mencoba lagi untuk keluar dari kandang. Ia berhasil menemukan celah kecil di pagar kandang dan berusaha memaksakan diri keluar. Tapi, begitu ia berada di luar, ia langsung dihadapkan pada kenyataan yang menakutkan. Seekor elang besar terbang di atasnya, dan Kiki langsung lari ketakutan. Ia bersembunyi di balik semak-semak, jantungnya berdebar kencang. Ia baru menyadari betapa berbahayanya dunia luar.

Kiki akhirnya kembali ke kandang dengan perasaan campur aduk. Ia merasa sedih karena tidak bisa merubah nasibnya, tapi juga merasa lega karena masih bisa hidup. Ia mulai memahami kata-kata induknya: hidup di dalam kandang mungkin tidak bebas, tapi setidaknya ia masih aman.

Sejak saat itu, Kiki memutuskan untuk menerima takdirnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa melawan kuasa manusia, dan dunia luar terlalu berbahaya untuk dihadapi. Ia memilih untuk hidup dengan apa yang ia miliki, menikmati setiap hari yang diberikan, dan berusaha untuk tidak terlalu memikirkan nasibnya di masa depan.

Tapi, di dalam hatinya, masih ada sedikit harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, mungkin ada perubahan. Mungkin ada cara untuk hidup yang lebih baik, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk semua ayam di peternakan itu.

Sampai akhir hayatnya, Kiki tetap menjadi ayam yang penuh semangat. Meskipun ia tidak bisa merubah takdirnya, ia tidak pernah menyerah untuk bermimpi. Dan meskipun hidupnya hanya sekedar makan, bertelur, dan menunggu hari kematiannya, ia tetap berusaha untuk hidup dengan bahagia.

Kiki mungkin hanya seekor ayam kecil di peternakan, tapi ceritanya adalah cerita tentang keberanian, harapan, dan penerimaan. Ia mengajarkan kita bahwa meskipun kita tidak bisa merubah takdir kita, kita masih bisa memilih bagaimana kita menghadapinya. Dan itu, mungkin, adalah pelajaran terbesar yang bisa kita ambil dari seekor anak ayam kecil yang penuh mimpi.

Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...