Langsung ke konten utama

Menikah: Antara Pelarian dari Kesepian dan Investasi Pusing Seumur Hidup

Menikah. Sebuah kata yang bisa membuatmu tersenyum bahagia atau mengernyitkan dahi sambil bertanya, "Ngapain juga ya?". Di satu sisi, menikah dianggap sebagai puncak kebahagiaan—sebuah mahkota kehidupan yang diidamkan sejak kecil, ketika kita masih berpikir bahwa cinta itu seindah sinetron FTV. Tapi di sisi lain, menikah juga bisa jadi semacam trapdoor yang menjebakmu ke dalam labirin tanggung jawab, tagihan listrik, dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti, "Kenapa anakku lebih mirip tetangga sebelah?". Lalu, apa sebenarnya tujuan menikah? Apakah sekadar pelarian dari kesepian, atau justru investasi jangka panjang untuk mengoleksi pusing-pusing baru yang lebih premium?  

Mari kita mulai dengan alasan klasik: "Aku ingin punya tempat pulang.". Ya, ketika kecil, rumah adalah tempat kita berlari setelah lelah bermain, mandi, makan, lalu tidur nyenyak di bawah selimut yang selalu hangat karena ada ibu yang menyiapkan semuanya. Tapi setelah dewasa, terutama ketika orang tua sudah tiada, rumah tiba-tiba berubah jadi ruang kosong yang sunyi. Sanak saudara? Mereka sibuk dengan keluarga masing-masing, dan kamu pun sadar bahwa hidup sendirian itu seperti makan mi instan tanpa bumbu—bisa bertahan, tapi rasanya hambar dan bikin mual. Menikah, dalam hal ini, seolah jadi solusi instan: "Aku butuh seseorang yang bisa kusalahkan ketika remote TV hilang!".  

Tapi tunggu dulu. Apakah menikah hanya soal punya teman tidur dan partner makan malam? Tentu tidak. Ada yang bilang, menikah itu tentang "memenuhi kebutuhan biologis secara halal". Tapi kalau cuma soal itu, bukankah kita sudah punya banyak opsi? Pacaran, misalnya. Atau kalau mau lebih praktis, PSK—meski ini jelas bukan pilihan yang etis atau sehat. Atau, kalau mau lebih hemat dan ramah lingkungan, onani saja. Toh, bukankah seks itu hanya soal kepuasan fisik? Tapi di sini letak perbedaannya: menikah bukan cuma soal seks, tapi juga tentang seberapa sering kamu bisa bertengkar soal siapa yang harus membuang sampah.  

Lebih dari itu, menikah adalah tentang tujuan hidup. Ya, hidup ini kan pada dasarnya absurd. Kita bangun pagi, kerja, pulang, tidur, lalu mengulangi rutinitas yang sama esok hari. Tanpa tujuan, hidup terasa seperti Groundhog Day versi murahan. Nah, menikah memberi kita tujuan baru: mengurus anak, istri, rumah, dan segala tetek bengeknya. Bayangkan, kamu bangun pagi bukan cuma untuk diri sendiri, tapi juga untuk memastikan anakmu tidak sarapan cokelat dan kopi instan. Kamu kerja bukan cuma untuk beli iPhone terbaru, tapi juga untuk bayar SPP sekolah dan biaya dokter ketika anakmu demam karena kebanyakan makan es krim. Itu semua bikin pusing? Tentu! Tapi itulah yang membuat hidupmu jadi berwarna atau lebih tepatnya, berantakan dengan warna-warni yang chaos.  

Menikah juga adalah tentang tanggung jawab. Ya, tanggung jawab itu seperti tas ransel yang beratnya terus bertambah seiring waktu. Tapi tanpa tas itu, hidupmu akan terasa ringan... dan hampa. Tanggung jawab mengurus keluarga, mendidik anak, dan membangun rumah tangga adalah semacam quest dalam game kehidupan. Kamu mungkin akan mengeluh, "Kenapa sih harus serumit ini?", tapi di situlah letak tantangannya. Tanpa tantangan, hidupmu akan seperti film tanpa konflik—membosankan dan tidak layak tayang.  

Tapi ingat, menikah bukanlah solusi ajaib untuk semua masalahmu. Jika kamu menikah hanya karena takut kesepian, bersiaplah untuk menemukan bahwa kesepian itu bisa lebih terasa ketika kamu tidur di sebelah seseorang yang tidak benar-benar kamu cintai. Jika kamu menikah hanya karena ingin punya teman seks, bersiaplah untuk menyadari bahwa seks itu hanya 1% dari kehidupan pernikahan—sisanya adalah pertengkaran, kompromi, dan saling memaafkan karena lupa beli susu anak.  

Jadi, apa sebenarnya tujuan menikah? Mungkin jawabannya sederhana: menikah adalah tentang berbagi. Berbagi kebahagiaan, berbagi kesedihan, berbagi tagihan, dan berbagi pusing. Menikah adalah tentang menemukan seseorang yang mau menerimamu apa adanya—meski kamu sering lupa menutup pasta gigi atau suka menonton drakor sampai larut malam. Dan yang terpenting, menikah adalah tentang menciptakan rumah—bukan sekadar bangunan dengan atap dan dinding, tapi tempat di mana hatimu bisa pulang.  

Jadi, jika kamu masih bertanya-tanya, "Untuk apa menikah?", mungkin jawabannya adalah: "Untuk punya alasan bangun pagi, meski itu hanya untuk membuang sampah.". Dan percayalah, di balik semua pusing dan chaos itu, ada kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan uang—atau digantikan oleh PSK, pacaran, atau onani. Motto hidup baru: "Menikah itu seperti mi instan—sederhana, tapi bisa jadi hidangan terlezat jika dimasak dengan cinta (dan bumbu yang cukup)."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...