Langsung ke konten utama

Hijau di Timur Jauh

Di sebuah negeri yang subur, hidup seekor kambing bernama Kawi. Ia tinggal di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau. Namun, kehijauan itu hanya ilusi belaka. Rumput-rumput yang dulu tumbuh subur kini telah habis dibabat oleh kaum kerbau yang berkuasa. Kawi merasa muak. Ia muak dengan keadaan di negerinya sendiri, di mana rumput hijau yang seharusnya menjadi hak semua kambing, kini dikuasai oleh segelintir kelompok.

Kaum kerbau, yang merupakan pemimpin di negeri itu, telah menguasai hampir semua lahan subur. Mereka dan para pendukungnya hidup dalam kemewahan, sementara kambing-kambing seperti Kawi harus berjuang mati-matian hanya untuk mendapatkan sejumput rumput. Jika ada rumput yang tersisa, itu pun harus diperebutkan dengan hewan-hewan lainnya. Kawi seringkali pulang dengan perut kosong, merenungkan nasibnya yang tak kunjung membaik.

“Kenapa harus seperti ini?” gumam Kawi suatu sore, sambil memandang langit yang mulai memerah. “Rumput itu seharusnya milik semua kambing, bukan hanya milik kerbau dan para pendukungnya.”

Ia ingat betapa sulitnya mendapatkan rumput yang enak. Jika ingin rumput yang hijau dan segar, seseorang harus menjadi keturunan kerbau atau setidaknya memiliki hubungan dekat dengan mereka. Kawi, yang hanya seekor kambing biasa, tak punya akses ke sana. Ia harus puas dengan rumput-rumput kering yang tersisa, atau bahkan dedaunan yang tak layak makan.

Suatu hari, tetangganya, seekor kambing bernama Lani, datang membawa kabar. Lani baru saja kembali dari negeri timur jauh, tempat di mana rumput hijau tumbuh subur dan semua kambing bisa hidup sejahtera.

“Kawi, kau harus lihat sendiri negeri itu,” kata Lani dengan mata berbinar. “Rumputnya hijau, segar, dan melimpah. Tak ada yang perlu diperebutkan. Setiap kambing bisa makan dengan layak.”

Kawi tertegun. Ia pernah mendengar cerita tentang negeri timur jauh itu, tapi ia tak pernah benar-benar percaya. Namun, melihat Lani yang kini tampak gemuk dan sehat, ia mulai berpikir bahwa mungkin negeri itu memang ada.

“Tapi, bagaimana caranya ke sana?” tanya Kawi penasaran.

Lani menghela napas. “Tidak mudah, Kawi. Kau butuh modal besar dan harus memenuhi syarat-syarat yang ketat. Tapi, jika kau benar-benar ingin hidup yang lebih baik, itu sepadan.”

Kawi termenung. Modal besar? Syarat ketat? Ia hanya seekor kambing biasa yang hidup pas-pasan. Tapi, tekadnya sudah bulat. Ia tak ingin lagi hidup dalam ketidakadilan. Ia ingin merasakan kehidupan di mana kerja keras dihargai, bukan hanya keturunan atau hubungan dekat dengan kaum kerbau.

Kawi pun mulai bekerja keras. Ia mengambil pekerjaan apa saja yang bisa ia lakukan. Ia membantu kambing-kambing lain mengangkut barang, membersihkan kandang, bahkan mencari rumput di tempat-tempat terpencil yang tak terjamah oleh kaum kerbau. Setiap hari, ia menabung sedikit demi sedikit, berharap suatu saat nanti ia bisa mengumpulkan modal yang cukup untuk pergi ke negeri timur jauh.

Prosesnya tidak mudah. Banyak rintangan yang harus ia hadapi. Kadang, ia merasa lelah dan hampir menyerah. Tapi, setiap kali ia ingat betapa tidak adilnya kehidupan di negerinya sendiri, semangatnya kembali membara. Ia tak ingin lagi hidup dalam ketidakpastian, di mana rumput hijau hanya milik segelintir kelompok.

Setelah berbulan-bulan bekerja keras, akhirnya Kawi berhasil mengumpulkan modal yang cukup. Ia juga mempelajari syarat-syarat yang diperlukan untuk bisa bermigrasi ke negeri timur jauh. Meski syaratnya ketat, Kawi tak gentar. Ia yakin, kerja kerasnya akan membuahkan hasil.

Hari keberangkatan pun tiba. Kawi memandang negerinya untuk terakhir kali. Ia merasa sedih harus meninggalkan tanah kelahirannya, tapi ia tahu ini adalah pilihan terbaik. Ia tak ingin lagi hidup dalam ketidakadilan, di mana rumput hijau hanya milik kaum kerbau dan para pendukungnya.

Perjalanan ke negeri timur jauh tidak mudah. Kawi harus melewati hutan belantara, menyeberangi sungai yang deras, dan mendaki gunung yang tinggi. Tapi, tekadnya tak pernah goyah. Ia terus berjalan, memikirkan kehidupan baru yang menantinya.

Akhirnya, setelah berhari-hari berjalan, Kawi tiba di negeri timur jauh. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rumput hijau tumbuh subur di mana-mana. Kambing-kambing lain hidup dengan damai, tak ada yang berebut atau saling sikut. Setiap kambing bisa makan dengan layak, tanpa harus memikirkan status atau keturunan.

Kawi merasa seperti berada di surga. Ia pun segera bergabung dengan kambing-kambing lain, menikmati rumput hijau yang segar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar bahagia.

Di negeri baru ini, Kawi belajar bahwa kerja keras memang dihargai. Tak ada yang peduli dengan latar belakangmu, asal kau mau bekerja keras, kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Kawi pun mulai membangun kehidupan baru, jauh dari ketidakadilan yang pernah ia alami di negerinya sendiri.

Meski ia merindukan tanah kelahirannya, Kawi tahu bahwa ia telah membuat pilihan yang tepat. Ia tak ingin lagi hidup dalam ketidakpastian, di mana rumput hijau hanya milik segelintir kelompok. Di negeri timur jauh ini, ia menemukan kebebasan dan keadilan yang selama ini ia impikan.

Dan dari kejauhan, Kawi berharap suatu hari nanti, negerinya sendiri akan berubah. Ia berharap, suatu saat nanti, semua kambing bisa hidup sejahtera, tanpa harus pergi ke negeri lain. Tapi untuk saat ini, ia memilih untuk menikmati hidup barunya, di negeri yang penuh dengan rumput hijau dan harapan.


Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...