Langsung ke konten utama

Filsuf Tik-Tok: Ketika Filsafat Disingkat Jadi Caption, dan Kebijaksanaan Jadi Konten Viral

Di era di mana perhatian manusia lebih pendek dari durasi video TikTok, filsafat pun tak luput dari derasnya arus fast-food knowledge. Munculah para filsuf dadakan—mereka yang merasa cukup membaca satu paragraf pengantar buku Nietzsche atau menonton video 60 detik tentang Sartre untuk kemudian mengklaim diri sebagai ahli pemikiran. Dengan penuh percaya diri, mereka menyebarkan quote-quote singkat yang seolah-olah mengandung kebijaksanaan abadi, padahal isinya cuma copy-paste dari Goodreads. Filsafat, yang seharusnya menjadi medan perenungan mendalam, kini direduksi jadi sekadar caption Instagram atau status WhatsApp yang dibumbui hashtag #DeepThought.  

Platform seperti TikTok dan Instagram menjadi panggung utama bagi para filsuf instan ini. Mereka berlomba-lomba membuat konten dengan latar belakang musik melankolis, menampilkan teks-teks seperti "Hidup ini absurd, tapi kita harus tetap tersenyum" atau "Apa arti cinta? Mungkin cinta adalah pertanyaan itu sendiri." Konten-konten ini dibungkus dengan visual aesthetic: pemandangan sunset, secangkir kopi, atau tangan memegang buku yang bahkan halamannya tak pernah dibuka. Elegan? Mungkin. Bermakna? Tentu saja tidak. Tapi yang penting engagement-nya naik, dan followers bertambah. Lagipula, siapa peduli dengan kedalaman pemikiran ketika like dan share sudah jadi ukuran kebenaran?  

Tak ketinggalan, kolom komentar menjadi ajang pertarungan ego para filsuf amatir. Di sana, mereka saling berdebat tentang konsep-konsep yang bahkan mereka sendiri tak pahami sepenuhnya. Seorang anak SMA yang baru saja membaca ringkasan "Thus Spoke Zarathustra" akan berdebat dengan mahasiswa semester satu yang baru saja menonton video YouTube tentang Heidegger. Hasilnya? Perang klaim siapa yang lebih "enlightened", sambil saling lembar istilah-istilah filosofis seperti "existential crisis", "dasein", atau "nihilisme"—yang semuanya digunakan secara serampangan, seolah-olah maknanya bisa disesuaikan dengan mood hari itu.  

Yang lebih parah, fenomena ini tidak hanya mengubah filsafat jadi bahan lelucon, tapi juga mempercepat penyebaran *propaganda kebodohan*. Informasi yang setengah matang, kutipan yang dipelintir, dan konsep yang disederhanakan hingga kehilangan maknanya, semua tersebar dengan kecepatan viral. Tujuannya jelas: bukan untuk mencerahkan, tapi untuk mencari perhatian. Filsafat, yang seharusnya mengajak manusia berpikir kritis, justru jadi alat untuk memproduksi ilusi intelektual. Orang-orang merasa pintar hanya karena bisa mengutip Camus, padahal mereka bahkan tak tahu bagaimana cara mengucapkan namanya dengan benar.  

Di balik semua ini, ada ironi yang pahit: teknologi yang seharusnya memudahkan akses pengetahuan justru jadi alat untuk menyebarkan kebodohan. Alih-alih mendorong manusia untuk berpikir lebih dalam, media sosial malah membanjiri kita dengan content yang dangkal tapi terlihat fancy. Filsafat, yang butuh waktu puluhan tahun untuk dipahami, kini dianggap bisa dikuasai dalam 15 detik. Dan para filsuf dadakan ini, dengan bangganya, menjadi duta-duta kebodohan yang tak sadar bahwa mereka sedang mempermainkan sesuatu yang jauh lebih besar dari diri mereka.  

Pada akhirnya, mungkin inilah bentuk absurditas modern yang sebenarnya: di mana kebenaran diukur dari jumlah like, kebijaksanaan direduksi jadi soundbite, dan filsafat jadi sekadar alat untuk pamer kepintaran semu. Tapi, siapa yang peduli? Selama masih ada yang share, para filsuf TikTok akan terus bermunculan, menciptakan ilusi bahwa mereka adalah suara generasi—padahal, suara mereka hanyalah gema kosong dari kebodohan yang tak pernah berhenti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...