Mencoba adalah mantra yang sering diperdengungkan oleh para motivator, seolah-olah kunci sukses terletak pada keberanian untuk mencoba. Namun, di balik seruan tersebut, terdapat realitas yang sering diabaikan: tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencoba tanpa risiko besar. Bagi mereka yang hidup dalam kemewahan, mencoba mungkin hanya sekadar permainan. Gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri? Tidak masalah, mereka bisa mendaftar di swasta. Gagal dalam bisnis? Modal masih ada untuk mencoba lagi. Namun, bagaimana dengan mereka yang terjebak dalam keterbatasan finansial?
Bagi orang-orang yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, setiap langkah untuk mencoba adalah pertaruhan besar. Mereka tidak hanya mempertaruhkan waktu dan tenaga, tetapi juga harapan dan masa depan. Misalnya, seorang pelajar yang berusaha mendapatkan beasiswa tidak hanya berjuang untuk pendidikan; kegagalan berarti harus menghadapi kenyataan pahit biaya kuliah yang mungkin tidak dapat ditanggung. Dalam konteks ini, "mencoba" bukanlah sekadar kata motivasi; itu adalah keputusan hidup dan mati.
Pernyataan "cobalah terus" sering kali terdengar kosong ketika diucapkan oleh mereka yang tidak memahami konteks kehidupan orang lain. Ketika motivator berbicara tentang mencoba, mereka sering kali berbicara dari posisi nyaman—posisi di mana kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Mereka tidak merasakan beratnya beban yang harus dipikul oleh mereka yang berjuang setiap hari. Dalam pandangan mereka, mencuba adalah sebuah petualangan; bagi orang lain, itu bisa menjadi jalan menuju kehampaan.
Kita hidup dalam dunia di mana keberanian untuk mencoba dipandang sebagai kebajikan tertinggi, namun kita lupa bahwa keberanian itu harus disertai dengan pemahaman akan konteks. Seorang pejuang tanpa senjata di medan perang tidak bisa dianggap berani hanya karena ia maju ke depan. Ia mungkin berani, tetapi tanpa persiapan dan pemahaman situasi, ia akan menjadi korban.
Kita sering terjebak dalam retorika positif tentang keberanian dan semangat mencoba, tetapi kita perlu menyadari bahwa tidak semua orang memiliki "jaring pengaman" ketika mereka terjatuh. Dalam masyarakat kita, ada jurang yang lebar antara mereka yang memiliki cukup sumber daya untuk mencoba dan mereka yang harus berpikir dua kali sebelum melangkah. Mencoba bagi orang miskin bukanlah sekadar tindakan; itu adalah langkah strategis yang penuh risiko.
Dalam dunia nyata, keberuntungan memainkan peran besar dalam menentukan siapa yang berhasil dan siapa yang gagal. Sementara para motivator mungkin mengajak kita untuk terus mencoba dengan semangat pantang menyerah, kita juga harus menyadari bahwa keberuntungan tidak selalu berpihak pada semua orang secara adil. Ada individu yang terlahir dengan kelebihan dan ada pula yang harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan kesempatan.
Akhirnya, kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap konsep "mencoba". Ini bukan hanya tentang keberanian atau semangat; ini juga tentang konteks dan realitas kehidupan setiap individu. Kita perlu lebih peka terhadap perbedaan ini dan memahami bahwa tidak semua orang bisa melangkah dengan ringan ketika dihadapkan pada tantangan hidup. Mencoba harus disertai dengan pemikiran matang dan strategi yang realistis—dan bagi banyak orang, itu berarti menimbang setiap langkah dengan hati-hati sebelum mengambil risiko besar.
Komentar
Posting Komentar