Langsung ke konten utama

Pemimpin dari Masa ke Masa: Dari Monoton hingga Generasi 'Mental Breakdown'



Pernahkah Anda merenungkan bagaimana sejarah pola pikir para pemimpin kita berkembang? Bayangkanlah, pemimpin yang lahir di era 70-an hingga 90-an, yang tumbuh besar saat informasi datang dari media yang katanya "modern"—koran, majalah, televisi. Namun, mari kita jujur: modern pada zaman itu hanyalah istilah mewah untuk "sumber informasi terbatas." Hasilnya? Pola pikir mereka menjadi seperti kaset tua yang terus memutar lagu yang sama, monoton, tanpa sedikit pun upaya mencari remix informasi yang lebih segar.

Ketika generasi ini menduduki kursi kepemimpinan, apa yang terjadi? Mereka menjadi pemegang teguh prinsip-prinsip yang mereka anggap mutlak. Kritik? Ah, itu dianggap seperti nyamuk yang perlu ditepuk mati. Saran? Jangan harap didengar jika berseberangan dengan nilai-nilai yang telah mendarah daging. Para pemimpin ini hidup dalam kepompong kebenaran mereka sendiri, seolah-olah segala sesuatu yang baru adalah ancaman yang harus ditolak mentah-mentah. "Jangan ganggu zona nyaman kami!" mungkin itulah pesan tersembunyi di balik senyum formal mereka.

Namun, waktu tidak peduli pada siapa pun. Ketika pemimpin-pemimpin "monoton" ini akhirnya pensiun, kursi empuk mereka akan diwariskan kepada generasi berikutnya: generasi 2000-an. Generasi ini, yang tumbuh besar di tengah hujan informasi digital, berpeluang membawa napas baru. Harapan kita adalah mereka lebih terbuka, lebih egaliter, dan tentunya, lebih fleksibel terhadap kritik. Tapi tunggu dulu, jangan terlalu cepat berharap. Dunia ini tidak hanya berisi angin segar, tetapi juga badai keragaman dan perpecahan.

Di masa depan, generasi Z akan naik ke panggung kepemimpinan. Apa yang bisa kita harapkan dari mereka? Generasi ini adalah mereka yang dibesarkan dengan kebebasan berpikir, tapi juga dengan banjir opini yang tak pernah berhenti. Mereka tumbuh dalam era di mana satu permasalahan bisa melahirkan seribu komentar di media sosial. Ketika mereka akhirnya menjadi pemimpin, apakah mereka mampu menyatukan prinsip dalam lingkaran yang penuh dengan keragaman pendapat? Ataukah mereka malah akan terseret dalam pusaran kebingungan, dihantam kritik dari segala arah seperti debu yang ditiup badai?

Mari kita berpikir lebih jauh. Generasi Z, meski terlihat progresif, punya tantangan mental yang tidak ringan. Di satu sisi, mereka ingin mendengar semua suara. Tapi di sisi lain, mereka juga manusia yang tidak kebal dari kelelahan emosional. Kritik yang tak ada habisnya bisa membuat mereka kehilangan arah, atau lebih parah lagi, merasa bosan. Ya, bosan. Mental breakdown bisa menjadi fenomena sehari-hari, dan bosan akan menjadi musuh baru yang lebih licik dibandingkan prinsip kaku generasi sebelumnya.

Jadi, pertanyaannya adalah: apakah generasi Z akan mampu menciptakan satu prinsip bersama yang solid, atau malah terjebak dalam guncangan internal dan eksternal yang terus-menerus? Apakah mereka akan menjadi pemimpin yang tangguh, atau justru pemimpin yang sibuk mencari validasi dari likes dan komentar di media sosial?

Pada akhirnya, perjalanan dari generasi pemimpin monoton hingga generasi yang dibombardir oleh keragaman opini adalah cerita ironi yang menarik. Pemimpin dulu terlalu keras kepala untuk mendengar, sementara pemimpin masa depan mungkin terlalu sibuk mendengar hingga lupa mengambil keputusan. Jadi, mana yang lebih baik? Atau mungkin, seperti biasa, kita hanya akan tetap menjadi penonton dalam komedi tragis bernama "kepemimpinan modern."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...