Manusia selalu membayangkan kiamat sebagai sesuatu yang spektakuler. Ledakan dahsyat, asteroid raksasa menghantam Bumi, atau perang nuklir yang membakar peradaban dalam hitungan detik. Film-film Hollywood mengajarkan kita bahwa akhir dunia harus dramatis, penuh efek spesial, dan tentu saja, dengan satu atau dua pahlawan yang mencoba menyelamatkan umat manusia. Tapi kenyataannya, kepunahan manusia mungkin tidak akan seheboh itu. Tidak ada ledakan, tidak ada kepanikan massal, dan tidak ada tokoh heroik yang berlari-lari menyelamatkan siapa pun. Sebaliknya, kepunahan terjadi dalam keheningan, dalam sunyi yang diciptakan oleh manusia sendiri.
Di awal abad ke-21, manusia masih hidup dalam ilusi bahwa mereka adalah makhluk sosial. Media sosial menjadi tempat mereka berpura-pura terhubung dengan dunia, padahal mereka hanya tenggelam dalam gelembung kecil masing-masing. Dari hari ke hari, semakin sedikit orang yang benar-benar bertemu muka. Mengapa harus repot-repot keluar rumah jika semua bisa dipesan lewat aplikasi? Teman? Ah, terlalu merepotkan. Keluarga? Hanya sekadar formalitas saat Lebaran. Jodoh? Lebih baik menikmati hidup sendiri daripada menghadapi drama hubungan. Anak? Siapa yang ingin menghabiskan waktu dan uang untuk makhluk kecil yang hanya akan menangis dan merepotkan?
Generasi demi generasi tumbuh dengan pemikiran bahwa kesendirian adalah pilihan terbaik. Mereka menyebutnya sebagai “kebebasan.” Tidak ada tanggungan, tidak ada kompromi, tidak ada pengorbanan. Hidup hanya untuk diri sendiri, tanpa harus berbagi ruang atau waktu dengan orang lain. Awalnya, ini terasa menyenangkan. Tidak ada konflik rumah tangga, tidak ada kerepotan mengurus anak, tidak ada keharusan menghadiri acara sosial yang membosankan. Tapi seperti semua hal dalam hidup, kenyamanan yang berlebihan selalu datang dengan harga yang mahal.
Populasi manusia mulai menurun. Bukan karena perang atau wabah mematikan, tetapi karena orang-orang tidak lagi melihat alasan untuk berkeluarga dan memiliki anak. Pemerintah mulai panik, mencoba menawarkan insentif agar orang mau menikah dan punya anak. Tapi tidak ada yang tertarik. Mengapa harus repot-repot membesarkan anak kalau hidup sendiri jauh lebih praktis? Teknologi semakin maju, robot semakin canggih, dan manusia semakin tidak perlu satu sama lain.
Seiring berjalannya waktu, dunia menjadi semakin sepi. Taman kanak-kanak kosong, sekolah-sekolah tutup, rumah sakit bersalin berubah menjadi panti jompo. Generasi terakhir umat manusia akhirnya menyadari sesuatu yang selama ini mereka abaikan: mereka telah menciptakan kiamat mereka sendiri. Bukan asteroid, bukan nuklir, bukan bencana alam. Hanya kesendirian yang mereka pilih secara sadar.
Dan ketika akhirnya, manusia terakhir menutup matanya untuk selamanya, tidak ada yang menangis, tidak ada yang meratapi, tidak ada yang peduli. Tidak ada saksi bagi kepunahan manusia, karena manusia sendiri telah memilih untuk menghilang dalam keheningan. Inilah akhir dari peradaban yang ironis. Bukan karena kehancuran besar, tetapi karena manusia terlalu nyaman dalam kesendirian hingga lupa bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar