"Cobalah! Jangan takut gagal! Kesuksesan berawal dari mencoba!" Begitulah kata para motivator dengan penuh semangat, seolah-olah hidup hanyalah sekadar permainan trial and error. Mereka berbicara dengan lantang, dengan nada penuh optimisme, seolah-olah kegagalan hanyalah batu loncatan menuju kesuksesan. Tapi mereka lupa satu hal kecil yang sangat krusial: modal. Ya, modal. Sebuah kata yang mungkin dianggap remeh oleh mereka yang hidup berkecukupan, tetapi menjadi penentu hidup dan mati bagi mereka yang hanya punya cukup uang untuk bertahan esok hari.
Bagi orang kaya, "mencoba" hanyalah bagian dari rutinitas. Gagal masuk PTN? Tidak masalah, masih ada universitas swasta ternama yang siap menerima dengan tangan terbuka, asalkan ada dana yang cukup. Gagal dalam bisnis pertama? Tidak perlu panik, masih ada tabungan, aset, atau pinjaman keluarga yang bisa digunakan untuk bangkit kembali. Gagal dalam investasi? Tinggal tunggu momen yang tepat dan coba lagi. Bagi mereka, kegagalan bukanlah akhir, melainkan sekadar kerikil kecil dalam perjalanan panjang menuju puncak kesuksesan. Mereka bisa gagal berkali-kali dan tetap bisa hidup dengan nyaman.
Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak punya keistimewaan itu? Bagi kaum yang hidup pas-pasan, kegagalan bukanlah sesuatu yang bisa dirayakan dengan optimisme kosong. Gagal masuk PTN berarti mungkin harus mengubur impian kuliah karena biaya universitas swasta terlalu tinggi. Gagal mendapatkan beasiswa berarti harus menghadapi kenyataan bahwa pendidikan tinggi hanyalah kemewahan yang tidak bisa dijangkau. Gagal dalam bisnis pertama? Itu bukan sekadar kehilangan modal, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk makan di hari berikutnya.
Mereka yang lahir dalam keterbatasan tidak bisa sekadar "mencoba" tanpa pertimbangan matang. Mereka tidak bisa bermain-main dengan risiko seperti orang kaya yang selalu punya cadangan. Jika mereka gagal, maka konsekuensinya bukan hanya mental breakdown atau motivasi turun, tetapi bisa berujung pada kehidupan yang lebih sulit. Hidup mereka adalah permainan dengan aturan yang berbeda, di mana setiap langkah harus dihitung dengan cermat, setiap keputusan bisa menentukan masa depan.
Motivator dan pengusaha sukses sering mengabaikan realitas ini. Mereka berceramah di atas panggung, berbicara tentang pentingnya keberanian dalam mencoba, seolah-olah semua orang memiliki start yang sama. Mereka menceritakan kisah inspiratif tentang bagaimana seseorang bisa bangkit dari nol, tanpa menyebutkan bahwa si "nol" itu masih punya koneksi, modal awal, atau keberuntungan luar biasa. Mereka menjual impian yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang memang sudah punya privilege sejak lahir.
Ironisnya, bagi orang miskin, hidup ini bukan soal memilih antara "mencoba atau tidak," tetapi antara "bertahan atau terjun bebas." Mereka dihadapkan pada pilihan yang tidak menguntungkan: diam di tempat dan terus berjuang dalam keterbatasan, atau mengambil risiko yang jika gagal, bisa menghancurkan segalanya. Ini bukan sekadar permainan keberanian, tetapi soal bertahan hidup. Seperti dikejar binatang buas, mereka hanya punya dua pilihan: tetap di tempat dan diterkam, atau melompat ke jurang dengan harapan bisa selamat.
Jadi, ketika ada orang berkata, "Cobalah, jangan takut gagal!" tanyakan pada mereka, "Apakah kamu siap menanggung konsekuensinya jika aku gagal?" Jika mereka hanya tersenyum dan berkata bahwa kegagalan adalah pelajaran, maka yakinlah, mereka tidak pernah merasakan bagaimana rasanya mempertaruhkan segalanya hanya untuk satu kesempatan kecil. Motivasi memang terdengar indah, tetapi hanya bagi mereka yang punya cukup modal untuk gagal berkali-kali tanpa harus kelaparan keesokan harinya.
Komentar
Posting Komentar