Langsung ke konten utama

Kereta Salah Tujuan: Ironi Perjalanan Hidup yang Terlalu Jauh



Pernahkah Anda salah menaiki kereta? Sebuah kesalahan kecil, tetapi dampaknya bisa sangat besar. Bayangkan, Anda berdiri di peron, sibuk dengan pikiran sendiri, hingga tanpa sadar melangkah masuk ke kereta yang salah. Pada awalnya, semuanya terlihat biasa saja—tempat duduk nyaman, suara pengumuman yang menenangkan. Tapi kemudian, Anda menyadari arah kereta ini bukan tujuan Anda. Panik mulai muncul. Sebelum kereta melaju terlalu jauh, Anda harus turun di stasiun terdekat. Jika tidak, ongkos perjalanan semakin mahal, dan waktu terbuang sia-sia.

Begitulah hidup di masa muda. Kita sering menaiki "kereta" yang salah, tersesat dalam euforia kebebasan atau terbuai oleh kilauan jalan pintas yang terlihat menarik. Ada yang memilih kereta menuju pesta pora, ada pula yang mengambil rute menuju kemalasan abadi. Awalnya, semua terasa menyenangkan. Keburukan sering kali datang dengan janji-janji semu: kesenangan instan, rasa bebas tanpa batas, atau bahkan status sosial yang terlihat gemilang. Namun, seperti kereta yang salah arah, semakin jauh Anda melaju, semakin mahal harga yang harus dibayar.

Ironisnya, kita sering kali baru menyadari kesalahan ini ketika sudah terlalu jauh. Stasiun-stasiun pemberhentian yang sebelumnya tampak dekat kini tak lagi terlihat. Waktu yang seharusnya digunakan untuk membangun fondasi hidup kini telah habis untuk hal-hal yang sia-sia. Dan ketika akhirnya ingin kembali ke jalur yang benar, perjalanan pulang terasa begitu melelahkan.

Orang-orang sering kali berkata, "Hidup itu pilihan." Tapi bagaimana jika pilihan itu diambil tanpa kesadaran penuh? Seperti menaiki kereta tanpa membaca papan informasi. Keburukan bukanlah hal yang patut dibanggakan, tetapi anehnya, banyak yang menjadikannya prestasi. "Aku pernah mencoba segalanya," kata mereka, dengan nada bangga, seolah-olah keburukan adalah medali kehormatan. Padahal, di balik semua itu, ada hati yang terluka, tubuh yang lelah, dan masa depan yang kian suram.

Salah satu ironi terbesar dalam hidup adalah bagaimana keburukan sering kali terlihat menarik pada awalnya, tetapi semakin jauh Anda melangkah, semakin sulit untuk kembali. Sama seperti kereta yang semakin cepat melaju, keburukan memiliki gravitasi yang sulit dilawan. Ketika Anda terbiasa dengan satu keburukan, keburukan lainnya tampak lebih mudah diterima. Sebuah dosa kecil menjadi pintu gerbang menuju dosa yang lebih besar.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Jawabannya sederhana: turun di stasiun terdekat. Mengakui kesalahan, berhenti sejenak, dan mencari jalan pulang. Tentu saja, ini tidak mudah. Anda mungkin harus menghadapi tatapan sinis dari orang-orang yang masih berada di "kereta keburukan." Mereka akan berkata, "Kenapa berhenti? Nikmati saja perjalanannya." Tapi berhenti adalah langkah pertama untuk menyelamatkan diri Anda.

Hidup adalah perjalanan panjang, dan kereta yang salah tidak harus menjadi akhir cerita. Sebaliknya, ini bisa menjadi pelajaran. Anda mungkin kehilangan waktu dan uang, tetapi Anda mendapatkan sesuatu yang lebih berharga: kesadaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Jadi, sebelum kereta melaju terlalu jauh, berhentilah. Tinjau kembali arah hidup Anda. Keburukan mungkin menawarkan perjalanan yang terlihat indah, tetapi jalan menuju kebaikan, meskipun sulit, adalah satu-satunya jalan yang membawa Anda ke tujuan sejati.

Hidup, seperti perjalanan kereta, penuh dengan pilihan. Pastikan Anda membaca papan informasi dengan hati-hati sebelum melangkah masuk. Jangan biarkan kesalahan kecil di awal membawa Anda menuju perjalanan panjang yang penuh penyesalan. Sebab, dalam hidup, yang terpenting bukanlah seberapa cepat Anda melaju, tetapi apakah Anda berada di jalur yang benar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...