Alarm berbunyi pukul lima pagi, tapi bukan untuk menyambut matahari dengan semangat early bird gets the worm, melainkan sekadar bukti bahwa kita masih punya hak istimewa untuk mematikan bunyinya dan kembali terlelap. Bangun pagi? Itu cuma ritual simbolis untuk mengingatkan bahwa sekolah sudah lama usai, tapi mental kita masih terjebak di kelas kehidupan yang sama: duduk manis, menunggu bel istirahat berbunyi, lalu pulang tanpa membawa PR kecuali pertanyaan, “Apa yang salah dengan hidup ini?” Toh, kita tidak bangun untuk kerja. Tidak. Kita bangun untuk mengecek notifikasi di HP, mengharap ada email ajaib bertuliskan, “Selamat! Anda diterima jadi office boy di perusahaan fiktif!” atau “Kami tawari Anda gaji 10 juta per jam untuk jadi ahli tidur profesional.” Sayangnya, yang datang cuma promo e-commerce yang menjajakan kabel data seharga Rp9.900—seolah-olah itu solusi untuk mengisi kekosongan jiwa.
Hidup sebagai pengangguran itu seperti jadi aktor tanpa naskah. Setiap hari kita bermain drama yang sama: monolog di depan cermin, “Aku harus produktif!”, lalu adegan berikutnya adalah rebahan sambil menatap langit-langit kamar, merenung mengapa langit itu tidak pernah jatuh menimpa tagihan listik. Kita adalah ahli filosofi dadakan, bertanya-tanya apakah makna hidup ini hanya sekadar makan mi instan, tidur siang yang molor sampai maghrib, lalu main game sampai mata merah seperti karakter anime yang baru kehilangan kekasihnya di episode 23. Tapi jangan salah! Kita juga punya kontribusi untuk dunia: menjadi penonton setia serial anime yang alur ceritanya lebih rumit daripada rencana karir kita. Plot twist kehidupan nyata? Kita bahkan tidak bisa memprediksi kopi pagi ini akan dingin sebelum sempat diminum.
Pekerjaan utama pengangguran bukanlah menganggur itu terlalu klise. Kita adalah kurator waktu luang, ahli strategi scroll Instagram, dan pakar analisis data palsu di LinkedIn. Setiap hari, kita mengumpulkan screenshot lowongan kerja seperti perangko, lalu menyimpannya di folder bernama “Mimpi”, sambil berbisik, “Suatu hari nanti…” Tapi “suatu hari” itu seperti ending anime favorit: selalu tertunda ke season berikutnya. Sementara itu, kita menghibur diri dengan mengatakan, “Bekerja itu hanya ilusi kapitalis!” sambil mengetik caption di TikTok, “Hidup santai, biar jantung ikut santai.” Padahal, jantung kita justru berdebar-debar setiap kali ada notifikasi email yang ternyata cuma surel spam dari “Prince Nigeria” yang ingin bagi warisan.
Ketika teman-teman seangkatan sudah sibuk curhat tentang bos yang galak atau deadline yang menghantui, kita hanya bisa mengangguk simpatik sambil berpikir, “Minimal mereka punya alasan untuk stres.” Di sini, stres kita lebih eksistensial: apakah esok harus makan indomie rasa ayam atau sapi? Apakah hari ini cukup worth it untuk mandi? Dan yang paling penting: kapan terakhir kali kita keluar rumah tanpa alasan “jalan-jalan ke minimarket beli kuota”? Hidup ini seperti open world game tanpa quest kita bebas menjelajah, tapi ujung-ujungnya cuma muter-muter di spot yang sama, ngumpulin item tak berguna seperti likes dan followers, lalu bertanya, “Apa rewards-nya?”
Mungkin inilah revolusi sejati generasi kita: memberontak terhadap narasi “hidup harus produktif” dengan menjadi ahli dalam seni *mdoing nothing. Kita adalah zen master baru, yang menemukan pencerahan lewat binge-watching anime 12 episode dalam satu hari. Toh, siapa bilang pengangguran tidak punya prestasi? Kita sudah menyelesaikan 10 musim serial TV, meraih level 100 di game RPG, dan mengoleksi 500 meme tentang depresi semua tanpa dibayar! Ini bukan kemalasan, ini adalah protes diam-diam terhadap sistem yang menjual mimpi tapi hanya memberi kenyataan berbentuk reject email.
Tapi di balik semua satire ini, ada satu pertanyaan yang menggigit: apakah kita benar-benar bahagia jadi “seniman pengangguran”, atau ini cuma topeng untuk menutupi rasa takut gagal? Mungkin suatu hari nanti, ketika notifikasi ajaib itu benar-benar datang, kita akan merindukan hari-hari panjang tanpa jadwal, di mana waktu terasa seperti musim panas yang tak berujung—panas, membosankan, tapi somehow menenangkan. Sampai saat itu tiba, mari kita angkat gelas (berisi kopi instan) untuk hidup yang tidak sempurna ini: cheer untuk pengangguran, kurator waktu, dan filsuf-filsuf kamar tidur yang tetap bertahan, meski hanya dengan modal wifi dan harapan kosong!
Komentar
Posting Komentar