Langsung ke konten utama

Petualangan Menyelamatkan Dunia dari Sofa



Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin mirip pasar loak moral, di mana keburukan dijual bebas dengan diskon "beli satu, dapat sepuluh", kita semua diam-diam ingin menjadi pahlawan super. Bukan yang terbang mengangkasa atau menghentikan peluru dengan gigi, melainkan pahlawan yang bisa mengubah penjahat jadi suci hanya dengan sekali scroll Instagram sambil minum kopi instan. Sayangnya, realitas tak semanis fantasi: kita cuma manusia biasa yang kadang lupa menyiram tanaman di pot, apalagi menyirami jiwa-jiwa yang kerontang di sekeliling. Lagi pula, buat apa repot-repot menasehati orang jahat jika mereka hanya akan membalas dengan, "Ngomong doang loe, gue juga bisa!" sambil memamerkan koleksi dosa mereka yang lebih panjang dari daftar hutang negara?  

Memang, menjadi pahlawan di zaman now itu ibarat mencoba memadamkan kebakaran hutan dengan semprotan wajah. Semua orang tahu masalahnya ada di mana-mana, tapi kita lebih memilih zoom meeting untuk membahas "strategi mitigasi" sambil mematikan kamera agar bisa mengunyah keripik dengan tenang. Daripada menyelamatkan dunia, mungkin lebih baik menyelamatkan timeline media sosial dari konten-konten cringe. Setidaknya, di sana kita bisa merasa jadi pahlawan dengan memberi like pada unggahan inspiratif—meski esoknya kita lupa dan kembali berbagi meme tentang betapa payahnya hidup.  

Kebenarannya, kita bukan Superman yang bisa mengubah arah asteroid dengan tinju. Kita lebih mirip sidekick tanpa kostum, yang bahkan tak sanggup mengubah arah obrolan keluarga saat om-om mulai rasis di meja makan. "Ah, sudahlah," bisik kita dalam hati, "daripada ribut, mending nanti aku post kutipan bijak di Story biar mereka malu sendiri." Tapi om-om itu tak pernah baca Story. Mereka sibuk mengirim broadcast WhatsApp tentang konspirasi global sambil menertawakan kearifan kita yang dianggap terlalu kekinian.  

Lalu, dari mana harus memulai menyelamatkan dunia? Jawabannya: dari kamar tidur. Ya, mulailah dengan menyelamatkan diri sendiri dari godaan menunda-nunda. Bereskan tumpukan baju kotor yang sudah menjulang menjadi menara Eiffel versi miskin. Jika berhasil, mungkin kita akan merasa cukup perkasa untuk menghadapi dunia luar. Tapi begitu melangkah keluar, kita diingatkan bahwa di luar sana ada lebih banyak sampah daripada di kamar—sampah fisik, sampah moral, sampah politik—dan kita cuma membawa satu kantong plastik daur ulang. Akhirnya, kita memutuskan: "Ah, lebih baik aku recycle diri sendiri jadi manusia apatis. Setidaknya, jantungku tetap berdetak meski nurani sudah koma."  

Ironisnya, niat mulia untuk "memperingatkan orang lain agar tak terjebak keburukan" sering berubah jadi kompetisi sok suci. Kita bersaing menunjukkan siapa yang lebih peka, lebih woke, lebih aware—sambil diam-diam menikmati drama orang lain yang jatuh ke lubang yang sama. "Lihat tuh, si A kena karma karena nggak dengerin nasehatku!" ucap kita, sambil mengirim screenshot percakapan ke grup chat sebagai bukti bahwa kita "sudah berusaha". Padahal, usaha terbesar kita cuma menggerakkan jempol, bukan menggerakkan hati.  

Pada akhirnya, filsafat hidup kita menyempit jadi satu kalimat: survival mode. Selamatkan diri, tutup telinga, pasang noise-cancelling headphones, dan biarkan dunia terbakar di luar. Toh, kita bukan superhero—kita cuma makhluk yang bisa rewatch serial TV sampai lima kali sambil berkhayal, "Andai aku jadi protagonis, pasti aku lebih hebat." Tapi ketika adegan heroik tiba, kita lebih memilih pause layar untuk ambil es krim. Karena, yah, menyelamatkan dunia itu melelahkan. Dan es krim bisa mencair jika ditunda.  

Jadi, mari kita berdamai dengan fakta bahwa kita cuma manusia bersandal jepit yang maksimal bisa lari dari masalah, bukan menghadapinya. Dunia mungkin tak akan berubah, tapi setidaknya kita bisa mengubah wallpaper ponsel jadi pemandangan alam yang damai—sambil berharap suatu hari nanti, mungkin, kita akan memiliki keberanian untuk membuang sampah di jalan... bukan sekadar memfotonya untuk dikeluhkan di Twitter.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...