Konon, hidup adalah anugerah. Tetapi bagi sebagian orang, hidup lebih terasa seperti permainan lotre yang dimulai dengan tiket kalah. Sejak lahir, kita sudah harus menghadapi fakta bahwa hidup di keluarga miskin berarti bekerja dua kali lebih keras hanya untuk berdiri di tempat yang sama dengan mereka yang lahir dalam kenyamanan. Sementara anak-anak orang kaya sibuk memilih jurusan yang mereka suka, kita justru sibuk berburu beasiswa, mati-matian mempertahankan nilai, dan berharap bisa keluar dari lingkaran kesulitan ini.
Tentu, banyak orang akan berkata, "Jangan salahkan orang tua! Mereka sudah berusaha semampunya!" Baiklah, kita tidak menyalahkan mereka. Tapi siapa yang bisa menyangkal bahwa ada perasaan iri ketika melihat seseorang yang sejak lahir sudah punya akses ke pendidikan terbaik, koneksi luas, dan tabungan masa depan? Ketika kita harus jungkir balik mencari pekerjaan, mereka tinggal masuk ke perusahaan ayahnya. Saat kita menghitung recehan untuk membeli makan siang, mereka sibuk memilih restoran mewah mana yang akan dikunjungi hari ini.
Lalu, apakah kita boleh menyalahkan Tuhan?. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia diberikan rezeki yang berbeda-beda. Tetapi, mengapa rasanya Tuhan begitu dermawan kepada segelintir orang dan pelit kepada yang lainnya? Katanya, "rezeki sudah diatur." Tapi mengapa yang miskin tetap miskin, sementara yang kaya semakin kaya? Apakah ini takdir, atau ada kesalahan teknis dalam sistem distribusi rezeki di dunia ini?
Yang lebih ironis lagi, orang tua sering berkata, "Kami ingin kamu sukses agar bisa mengangkat derajat keluarga." Sebuah harapan yang terdengar indah, tetapi menjadi beban mental yang luar biasa berat. Kita dipaksa untuk sukses, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk keluarga, untuk membuktikan bahwa mereka tidak gagal. Jadi, kita harus berjuang dari nol, sambil membawa harapan dan impian keluarga di punggung kita. Seperti kuda pacu yang harus terus berlari, meskipun kaki sudah gemetar kelelahan.
Dan ketika akhirnya, setelah berjuang bertahun-tahun, kita tetap menganggur? Ah, itu adalah pukulan telak. Gelar akademik tak menjamin pekerjaan, pengalaman tak menjamin gaji yang layak, dan usaha tak selalu berbuah hasil. Sementara itu, masyarakat dengan mudahnya memberi label: "Pemalas! Tidak berusaha cukup keras!" Seolah-olah mereka tahu betapa melelahkannya mengirim ratusan lamaran kerja hanya untuk menerima ratusan penolakan.
Pada akhirnya, kita terjebak dalam dilema: ingin sukses demi keluarga, tapi juga ingin bebas dari tekanan ekspektasi mereka. Ingin mengubah nasib, tapi kenyataan terlalu keras. Lalu, bagaimana kita harus hidup? Haruskah kita menerima nasib sebagai beban keluarga selamanya? Atau haruskah kita berhenti peduli dan mencari kebahagiaan kita sendiri, meskipun itu berarti mengecewakan orang tua?
Mungkin, satu-satunya jawaban adalah menerima kenyataan bahwa hidup memang tidak adil. Tetapi jika kita tidak bisa memilih di mana kita lahir, setidaknya kita masih bisa memilih bagaimana kita menjalani hidup. Dan kalaupun pada akhirnya kita gagal, setidaknya kita bisa berkata, "Setidaknya aku sudah mencoba, meskipun dunia ini tidak berpihak padaku."
Komentar
Posting Komentar