Langsung ke konten utama

Takdir Menjadi Beban Keluarga



Konon, hidup adalah anugerah. Tetapi bagi sebagian orang, hidup lebih terasa seperti permainan lotre yang dimulai dengan tiket kalah. Sejak lahir, kita sudah harus menghadapi fakta bahwa hidup di keluarga miskin berarti bekerja dua kali lebih keras hanya untuk berdiri di tempat yang sama dengan mereka yang lahir dalam kenyamanan. Sementara anak-anak orang kaya sibuk memilih jurusan yang mereka suka, kita justru sibuk berburu beasiswa, mati-matian mempertahankan nilai, dan berharap bisa keluar dari lingkaran kesulitan ini.

Tentu, banyak orang akan berkata, "Jangan salahkan orang tua! Mereka sudah berusaha semampunya!" Baiklah, kita tidak menyalahkan mereka. Tapi siapa yang bisa menyangkal bahwa ada perasaan iri ketika melihat seseorang yang sejak lahir sudah punya akses ke pendidikan terbaik, koneksi luas, dan tabungan masa depan? Ketika kita harus jungkir balik mencari pekerjaan, mereka tinggal masuk ke perusahaan ayahnya. Saat kita menghitung recehan untuk membeli makan siang, mereka sibuk memilih restoran mewah mana yang akan dikunjungi hari ini.

Lalu, apakah kita boleh menyalahkan Tuhan?. Agama mengajarkan bahwa setiap manusia diberikan rezeki yang berbeda-beda. Tetapi, mengapa rasanya Tuhan begitu dermawan kepada segelintir orang dan pelit kepada yang lainnya? Katanya, "rezeki sudah diatur." Tapi mengapa yang miskin tetap miskin, sementara yang kaya semakin kaya? Apakah ini takdir, atau ada kesalahan teknis dalam sistem distribusi rezeki di dunia ini?

Yang lebih ironis lagi, orang tua sering berkata, "Kami ingin kamu sukses agar bisa mengangkat derajat keluarga." Sebuah harapan yang terdengar indah, tetapi menjadi beban mental yang luar biasa berat. Kita dipaksa untuk sukses, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk keluarga, untuk membuktikan bahwa mereka tidak gagal. Jadi, kita harus berjuang dari nol, sambil membawa harapan dan impian keluarga di punggung kita. Seperti kuda pacu yang harus terus berlari, meskipun kaki sudah gemetar kelelahan.

Dan ketika akhirnya, setelah berjuang bertahun-tahun, kita tetap menganggur? Ah, itu adalah pukulan telak. Gelar akademik tak menjamin pekerjaan, pengalaman tak menjamin gaji yang layak, dan usaha tak selalu berbuah hasil. Sementara itu, masyarakat dengan mudahnya memberi label: "Pemalas! Tidak berusaha cukup keras!" Seolah-olah mereka tahu betapa melelahkannya mengirim ratusan lamaran kerja hanya untuk menerima ratusan penolakan.

Pada akhirnya, kita terjebak dalam dilema: ingin sukses demi keluarga, tapi juga ingin bebas dari tekanan ekspektasi mereka. Ingin mengubah nasib, tapi kenyataan terlalu keras. Lalu, bagaimana kita harus hidup? Haruskah kita menerima nasib sebagai beban keluarga selamanya? Atau haruskah kita berhenti peduli dan mencari kebahagiaan kita sendiri, meskipun itu berarti mengecewakan orang tua?

Mungkin, satu-satunya jawaban adalah menerima kenyataan bahwa hidup memang tidak adil. Tetapi jika kita tidak bisa memilih di mana kita lahir, setidaknya kita masih bisa memilih bagaimana kita menjalani hidup. Dan kalaupun pada akhirnya kita gagal, setidaknya kita bisa berkata, "Setidaknya aku sudah mencoba, meskipun dunia ini tidak berpihak padaku."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...