Langsung ke konten utama

Punahnya Manusia: Bukan Karena Perang, Tapi Karena Mager



Di masa lalu, manusia bertahan hidup dengan cara berburu, bercocok tanam, dan bekerja sama dalam kelompok. Mereka sadar bahwa tanpa satu sama lain, hidup akan lebih sulit. Lalu, datanglah revolusi teknologi. Awalnya, semuanya terasa menyenangkan—teknologi diciptakan untuk mempermudah hidup manusia. Tapi siapa sangka, kemudahan ini justru menjadi kutukan perlahan. Manusia semakin jarang bertemu, semakin malas berinteraksi, dan akhirnya, semakin nyaman dalam kesendiriannya.

Dulu, orang-orang harus keluar rumah jika ingin membeli makanan. Sekarang? Tinggal klik di ponsel, makanan datang sendiri. Dulu, belanja ke pasar menjadi ajang bertemu tetangga dan berbasa-basi soal harga bawang yang naik. Sekarang, semuanya bisa dipesan online. Tidak ada lagi obrolan ringan dengan ibu-ibu pedagang, tidak ada lagi senyum sapaan dari kasir minimarket. Bahkan, hubungan antar tetangga pun hanya sebatas menekan tombol "like" di media sosial.

Pada titik ini, manusia mulai merasa cukup dengan dirinya sendiri. Toh, semuanya bisa dilakukan tanpa perlu repot berinteraksi. Sosial media menggantikan obrolan di warung kopi. Video call menggantikan pertemuan langsung. Memelihara kucing dan anjing menjadi lebih menarik daripada membangun hubungan dengan sesama manusia. "Ngapain menikah kalau bisa happy sendirian?" pikir mereka. Begitulah, satu demi satu manusia mulai memilih jalan individualisme yang lebih nyaman, tanpa menyadari bahwa mereka sedang menggali kuburan bagi spesiesnya sendiri.

Kesepian, yang dulunya dianggap sebagai kondisi emosional sementara, kini berubah menjadi epidemi. Semakin banyak orang yang hidup sendirian, tanpa pasangan, tanpa keluarga, bahkan tanpa teman. Awalnya, mereka menikmati kebebasan ini. Tidak ada yang mengganggu, tidak ada yang merepotkan. Namun, lambat laun, rasa kosong mulai menjalar. Tidak ada yang menanyakan kabar, tidak ada yang mengucapkan selamat ulang tahun selain notifikasi robot di media sosial.

Ironisnya, di dunia yang semakin terhubung, manusia justru semakin terisolasi. Mereka tidak lagi tahu siapa yang tinggal di rumah sebelah. Mereka tidak peduli jika ada orang yang butuh pertolongan di lingkungan sekitar. Yang penting, Wi-Fi lancar dan baterai ponsel penuh. Dan ketika akhirnya kesepian berubah menjadi depresi, tidak ada yang benar-benar hadir untuk membantu.

Pada akhirnya, manusia tidak punah karena perang besar atau bencana alam dahsyat. Mereka punah karena malas bersosialisasi. Populasi menurun bukan karena wabah penyakit, tetapi karena orang-orang semakin enggan menikah dan memiliki anak. Generasi demi generasi tumbuh dengan pemikiran bahwa kesendirian lebih mudah, lebih praktis, lebih nyaman. Hingga suatu hari, ketika mereka ingin kembali bersosialisasi, sudah tidak ada lagi manusia lain yang tersisa.

Inilah akhir dari peradaban yang ironis. Bukan karena asteroid, bukan karena kiamat nuklir, tetapi karena manusia terlalu nyaman dalam kesendirian. Dan ketika akhirnya kepunahan benar-benar terjadi, tidak akan ada yang menangisi kepergian mereka, karena tidak ada lagi yang tersisa untuk peduli.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...