Langsung ke konten utama

Egoisme Abadi: Ketika Dunia Lebih Memilih Kesenjangan daripada Keadilan



Konon, dunia ini memiliki segala sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia. Namun, keadilan itu tetaplah utopia, sebuah impian indah yang terus bersembunyi di balik tembok ego manusia. Bukankah ironis? Di tengah limpahan kekayaan bumi, kelaparan masih merajalela, ketidakadilan terus berjaya, dan kesenjangan semakin menganga. Semua ini karena satu alasan: ego.

Ego manusia adalah racun yang diwariskan dari generasi ke generasi, seperti warisan keluarga yang tak pernah bisa ditolak. Ego ini tak lahir begitu saja, tetapi diciptakan melalui sebuah sistem sosial yang sengaja dirancang untuk mempertahankan stratifikasi. Penilaian atas latar belakang, status sosial, kekayaan, bahkan keimanan, dijadikan ukuran nilai seseorang. Ya, bahkan agama, yang katanya sumber kasih sayang dan kesetaraan, kerap menjadi alat pembeda.

Ambil contoh kaum agamawan, yang sering kali menciptakan kelas baru berdasarkan spiritualitas. Mereka yang merasa "lebih dekat dengan Tuhan" membangun menara keimanan, memandang rendah mereka yang dianggap kurang suci. Tidak peduli bahwa di balik doa panjang mereka, mungkin tersembunyi perasaan "aku lebih baik daripada kamu." Bukankah perasaan seperti ini yang membuat iblis diusir dari surga? Sang iblis, yang merasa lebih mulia karena diciptakan dari api, menganggap manusia, makhluk tanah liat, tak pantas mendapat kehormatan. Tetapi lihatlah kini, manusia begitu fasih meniru langkah iblis, menciptakan hierarki sosial yang kokoh, dengan ego sebagai pondasinya.

Sungguh menarik, bukan? Kita membenci iblis, tetapi begitu mudah mengamini perkataannya. Manusia menciptakan sistem sosial yang, seperti menara Babel, menjulang tinggi tetapi rapuh. Semua berlomba-lomba memanjat tangga yang seakan tanpa ujung, saling sikut demi menjaga posisi di atas. Sistem ini dirancang dengan sedemikian rupa sehingga mereka yang berada di puncak akan terus bertahan, sementara yang di bawah hanya bisa mendongak dan berdoa—atau lebih sering, menyerah.

Dan di sinilah letak ironi terbesarnya: meskipun manusia tahu bahwa sistem ini tidak adil, mereka tetap memeliharanya. Mengapa? Karena ego memberikan rasa nyaman, rasa unggul, rasa "aku lebih baik daripada mereka." Kekayaan, jabatan, dan bahkan iman, semuanya dijadikan alat untuk menegaskan superioritas.

Apa yang kita dapatkan dari sistem ini? Ketidakadilan yang semakin mengakar. Kaum yang kaya terus bertambah kaya, kaum miskin semakin termarjinalkan, dan mereka yang berada di tengah hanya menjadi penonton dalam panggung absurditas ini. Dunia ini seharusnya cukup untuk semua, tetapi kenyataannya hanya cukup untuk segelintir orang yang pandai memanfaatkan ego mereka.

Dan jangan lupa, ego ini bukan hanya ada pada mereka yang berkuasa. Mereka yang merasa dirinya korban juga sering kali terjebak dalam lingkaran ego. "Mengapa aku tidak seberuntung mereka?" Pertanyaan ini, meskipun tampak sah, tetap berakar pada perasaan iri dan tidak puas, yang pada akhirnya menggerogoti diri sendiri.

Pada akhirnya, manusia tidak pernah benar-benar belajar dari sejarah. Kita terus mengulang kesalahan yang sama, menciptakan sistem yang sama, dan berharap hasil yang berbeda. Bukankah ini definisi kegilaan?

Mungkin, suatu hari, ketika ego sudah tidak lagi menjadi raja, manusia bisa benar-benar berbagi "sama rata, sama rasa." Tetapi, untuk saat ini, tampaknya dunia masih terlalu sibuk memelihara kesenjangan. Jadi, silakan lanjutkan memanjat menara ego Anda. Tapi hati-hati, semakin tinggi Anda naik, semakin keras Anda jatuh. Karena, seperti kata pepatah lama, "Kesombongan adalah pendahulu kejatuhan."

Jadi, apa solusi dari semua ini? Oh, tentu saja, tidak ada. Kita hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, ego akan lelah membebani dunia ini. Sampai saat itu tiba, selamat menikmati absurditas hidup Anda. Bukankah ini hiburan gratis yang ditawarkan dunia?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Struktural Keorganisasian Kampus

(Dokumen Pribadi) Jika kamu adalah anak kuliah tentu pasti sudah tahu apa itu organisasi kampus. Mungkin ada sedikit perbedaan antara organisasi kampus dengan organisasi lainnya. Jelasnya organisasi kampus tentunya diisi oleh mahasiswa dan tentunya pola pikir keorganisasian dan tujaunnya berbeda dengan organisasi diluar kampus. Organisasi kampus sendiri terdiri dari dua macam, ada organisasi intra kampus kampus dan organisasi ekstra kampus. Organisasi kampus ini seberulnya hampir mirip dengan sistem kenegaraan kita seperti eksekutif, legislatif dan partai politik. Organisasi kampus ini, bisa disebut juga sebagai miniatur negara, untuk lebih jelasnya saya akan jelaskan dibawah ini:  Organisasi Intra Kampus Definisi organisasi intra kampus sendiri ada di dalam aturan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi (PUOK). Secara singkatnya organisasi intra kampus ini berada di bawah naungan kampus. Orga...

Antara Alam Pikiran dan Alam Realitas

Pernahkan kamu berfikir? Ya tentunya semua orang di dunia ini melakukan segala aktifitas dengan berfikir kecuali pada saat tidur dan pingsan. Hal yang unik dari manusia adalah manusia berbeda dengan fikirannya hewan. Hewan hanya berfikir berdasarkan insting naluri berfikirnya jika ada hewa-hewan cerdas seperti lumba-lumba dan  simpanse, mereka tentunya harus dilati terlebih dahulu. Tanpa dilatih mereka hanya hewan biasa walaupun di katakan hewan cerdas pun pemikiran mereka tetap saja tidak bisa berkembang. (Pixlab.com) Manusia tentunya memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan lain yakni pikiran, dengan pikiran manusia bisa melakukan hal yang sulit menjadi mudah, membuat hal yang kreatif dan inovatif, berimajinasi, berlogika, mempelajari hal baru dan masih banyak yang lainnya. Sejauh ini peradaban diciptakan oleh manusia dari masa-masa, manusia mempelajari hal baru dan ilmi-ilmu baru. Berbicara tentang pemikiram ini tentunya adalah hal yang unik, karena setiap orang memiliki tin...

Buat Apa Kita Belajar

Pertanyaan ini sebetulnya adalah pertanyaan yang kurang kerjaan, tetapi memang perlu kita pikirkan bersama. Memang sudah jelas tujuan belajar adalah menjadi orang yang pintar. Tetapi menurut saya itu bukan jawaban yang tepat. mengapa itu bukan jawaban yang tepat, karena kita harus lihat dulu tujuan dari belajar itu sendiri. Jujur saya orang yang senang belajar tetapi saya kurang suka pelajaran di sekolah, karena orientasinya hanya sekedar nilai. Mungkin ini tidak sesuai dengan stigma masyarakat. (Pixabay.com) Kita tentunya harus mengubah tujuan dari belajar. Jika kita belajar rajin mengerjakan PR, rangking satu, ujian selalu baik tentunya itu adalah anak yang pintar. Padahal itu bukan orang yang pintar, tetapi dia hanya ingin dipandang baik masyarakat (sekolah) makanya harus rajin agar dipuji oleh banyak orang. Jika kamu merasa puas ketika dipuji karena rangking satu tentunya sangat puas. Tetapi puasnya hanya cukup disitu saja. Setelah ia puas maka ya sudah pelajaran yang telah lalu di...