Langsung ke konten utama

Paradoks Ilmu Pengetahuan: Semakin Pintar, Semakin Bingung?



Ilmu pengetahuan adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberi kita pemahaman lebih luas tentang dunia. Di sisi lain, ia juga menampar kita dengan kesadaran bahwa ternyata kita tidak tahu apa-apa. Semakin banyak membaca, semakin banyak bertanya. Semakin banyak belajar, semakin banyak kebingungan. Lantas, apakah ini artinya menjadi bodoh lebih nyaman dibanding menjadi pintar? Sebuah dilema yang tak pernah usai.

Kita hidup dalam era informasi, di mana pengetahuan bisa diakses dalam hitungan detik. Namun, apakah semua yang kita tahu itu bisa langsung diaplikasikan? Tentu tidak. Faktanya, kebanyakan orang yang berilmu justru terlalu sibuk mempertimbangkan banyak hal sampai akhirnya tidak berbuat apa-apa. Bayangkan seseorang yang memahami filsafat ekonomi, membaca berbagai teori bisnis, namun tetap bingung bagaimana cara menjual satu produk di pasar. Atau seseorang yang menguasai psikologi komunikasi tetapi tetap gagap saat berbicara di depan umum. Ironis, bukan?

Di sinilah letak paradoksnya. Ilmu pengetahuan seharusnya mempermudah hidup, tetapi terkadang justru membuatnya lebih rumit. Kita tidak lagi bisa mengambil keputusan sederhana tanpa berpikir panjang. Bahkan untuk sekadar memilih menu makan siang, kita dihadapkan pada dilema: apakah ini sehat? Berapa kalorinya? Apakah ini ramah lingkungan? Akhirnya, kita hanya bisa menghela napas dan kembali ke menu lama: nasi padang.

Namun, jangan salah paham. Ini bukan berarti ilmu pengetahuan itu sia-sia. Tidak, sama sekali tidak. Tanpa ilmu, bagaimana mungkin kita bisa memahami dunia? Seorang pedagang tanpa pemahaman tentang arus keuangan mungkin akan bangkrut dalam waktu singkat. Seorang pembicara tanpa ilmu retorika bisa jadi hanya akan membuat pendengar menguap bosan. Ilmu, meskipun tidak selalu langsung berguna, tetap menjadi fondasi bagi peradaban.

Lucunya, banyak yang mengira bahwa ilmu hanya ada di dalam buku. Padahal, sebagian besar pengetahuan manusia justru berasal dari pengalaman, kegagalan, dan pengamatan. Sebelum ada buku, manusia sudah belajar dari alam, dari kesalahan, dari cerita turun-temurun. Kita tidak butuh gelar akademik untuk memahami bahwa api itu panas atau bahwa air lebih baik diminum daripada diinjak. Namun, dengan adanya buku, manusia memang semakin terdorong untuk berpikir lebih dalam—terkadang terlalu dalam.

Lalu, apakah harus ada batasan dalam menuntut ilmu? Apakah kita harus berhenti membaca agar tidak semakin pusing? Tentu tidak. Justru semakin kita tahu bahwa kita tidak tahu apa-apa, semakin kita terdorong untuk belajar lebih jauh. Ya, mungkin akan lebih banyak kebingungan. Ya, mungkin kita akan semakin menyadari ketidaktahuan kita. Tapi bukankah itu bagian dari perjalanan intelektual?

Jadi, jangan takut menjadi pintar, tetapi juga jangan terjebak dalam kebingungan. Nikmati paradoks ini, seperti seseorang yang menikmati secangkir kopi pahit sambil memikirkan kenapa dunia ini penuh ironi. Pada akhirnya, ilmu pengetahuan bukanlah beban, melainkan bahan bakar untuk terus berpikir, terus belajar, dan tentu saja, terus mempertanyakan segala hal. Sebab, bukankah hidup ini sendiri adalah sebuah teka-teki yang tak pernah selesai?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...