Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2025

Isekai: Fantasi Murahan yang Tak Kunjung Mati

Ah, isekai lagi. Dunia lain lagi. Pria biasa dari dunia nyata yang mendadak menjadi pahlawan luar biasa, dikelilingi oleh perempuan cantik dari berbagai ras—elf, demon, manusia, bahkan slime berbentuk wanita. Plotnya? Oh, mari kita tebak. Dia akan mendapatkan kekuatan yang terlalu besar, seperti bisa menghancurkan raja iblis hanya dengan batuk. Dan tentu saja, dia akan punya harem yang setiap anggotanya berlomba-lomba untuk memperebutkan perhatian si pahlawan yang, entah kenapa, hampir selalu seorang pria remaja kikuk tapi "istimewa." Semua ini terasa seperti makan mie instan setiap hari. Awalnya, ada rasa nikmat—gurih, cepat, dan memuaskan dalam waktu singkat. Tapi setelah mangkuk kesepuluh? Mual. Sayangnya, tetap dimakan. Kenapa? Karena kita terlalu malas mencari menu lain. Penulis anime isekai sepertinya sangat memahami kebosanan kita yang sudah mengakar. Mereka tahu kita akan tetap menonton. Mereka tahu, meski kita mengeluh tentang betapa klisenya cerita mereka, kita akan...

Menari di Atas Ketidakpastian

Ketidakpastian adalah satu-satunya hal yang pasti. Sebuah paradoks yang begitu akrab namun tak pernah benar-benar kita pahami. Kita hidup di dunia yang penuh janji-janji manis: pendidikan tinggi, harta berlimpah, cinta yang abadi, atau popularitas yang membuat nama kita terukir dalam sejarah. Namun, apa yang terjadi ketika semua itu tercapai? Ketika puncak gunung yang kita daki dengan susah payah ternyata hanya menyisakan pemandangan datar yang membosankan? Mari kita bicara tentang mereka yang sudah sampai di sana, para penghuni puncak. Mereka yang memiliki segalanya—harta, tahta, dan cinta yang katanya akan membuat hidup menjadi sempurna. Lihatlah, mereka justru ingin turun ke lembah. Bosan, katanya. Kehilangan makna, katanya lagi. Bagaimana bisa seseorang yang memiliki segalanya ingin menjadi "biasa saja"? Bukankah itu yang kita kejar selama ini? Ketidakpastian adalah seperti berjalan di lorong penuh pintu. Kau buka satu pintu, di baliknya hanya ada pintu lain. Begitu seter...

Rusa dan Buaya: Sebuah Perumpamaan Hidup

  Kisah antara rusa dan buaya mungkin terdengar sederhana: seekor buaya lapar menunggu di tepi sungai, menanti saat rusa yang tak waspada datang untuk minum. Dalam satu loncatan, rusa itu bisa saja menjadi santapan. Namun, jika rusa cukup sigap untuk menghindar, ia melanjutkan hidup, dan buaya tetap kelaparan. Apa yang terlihat seperti permainan untung dan sial ini sebenarnya lebih dalam dari sekadar siapa yang menang atau kalah. Rusa dan buaya adalah simbol dari perjuangan hidup yang tanpa henti. Ketika rusa melangkah ke tepi sungai, ia bukan hanya sekadar mencari air, tetapi juga mempertaruhkan nyawanya. Setiap detik adalah pertaruhan. Air yang ia cari adalah kebutuhan dasar, tetapi mendapatkan itu berarti berhadapan dengan ancaman nyata. Sementara itu, di sisi lain, buaya juga bukan sekadar pemangsa yang berdiam menunggu mangsa datang. Ia adalah makhluk yang juga berjuang untuk hidup, menggantungkan kelangsungan tubuhnya pada rusa yang cukup ceroboh untuk mendekat. Hidup sering ...

Menyerahkan Nasib pada Bandar Judi Kehidupan

Menyerahkan masa depan kepada orang lain tak ubahnya seperti menyerahkan seluruh tabungan hidup kepada seorang bandar judi, berharap mimpi indah terwujud di atas meja taruhan. Dalam benak, kita membayangkan keberuntungan besar yang mengubah segalanya. Namun, realitas sering kali menghadirkan wajah berbeda—uang habis, mimpi hancur, dan kita terdampar di sudut ruangan, merenungi keputusan bodoh yang telah diambil. Hidup ini, pada dasarnya, memang serupa perjudian. Setiap langkah kita adalah taruhan di atas papan dunia yang absurd. Kita tidak pernah tahu apakah esok membawa keberuntungan manis atau justru malapetaka pahit. Bagaimana bisa kita begitu yakin menyerahkan nasib pada orang lain, padahal mereka sendiri mungkin sedang bergulat dengan ketidakpastian hidupnya? Yang bisa kita andalkan hanyalah diri sendiri. Tidak ada jaminan bahwa mempersiapkan diri dengan matang akan selalu membawa hasil yang baik, tetapi setidaknya itu jauh lebih masuk akal daripada berharap pada belas kasih orang...

Orang Pintar di Tengah Kerumunan Bodoh

  Hidup di tengah orang-orang bodoh kadang membuatku merasa menjadi dewa kecil. Bayangkan saja, aku yang biasa-biasa saja, tiba-tiba terlihat seperti seorang filsuf agung di mata mereka. Kata-kataku yang sebenarnya biasa pun dianggap mutiara bijak, padahal aku sering asal bicara. Aku merasa seperti bintang di tengah kegelapan, meski tahu bahwa kegelapan itu bukan karena aku bersinar, melainkan karena mereka enggan menyalakan lampu. Mereka malas membaca, itu yang paling sering kulihat. Buku? Ah, terlalu berat, katanya. Lebih baik menonton video pendek berisi kata-kata mutiara yang sering kali asal comot tanpa konteks. "Hidup ini seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah," begitu katanya, seolah-olah itu adalah pencerahan. Padahal, mereka hanya mengulang-ulang apa yang mereka dengar, tanpa benar-benar memahami artinya. Aku jadi geli sendiri. Aku bisa menipu mereka dengan mudah, memainkan emosi mereka hanya dengan kata-kata manis yang sebenarnya kosong. Tapi, jangan salah sa...

Kemudahan yang Membelenggu

  Manusia, katanya, adalah makhluk yang dirancang untuk berjuang. Dari zaman berburu dan meramu hingga zaman ponsel pintar dan kecerdasan buatan, perjuangan selalu menjadi inti dari eksistensi kita. Namun, ironisnya, semakin banyak kemudahan yang kita ciptakan, semakin banyak pula manusia yang merasa tidak perlu berjuang lagi. Dunia yang dulu penuh tantangan kini tampak seperti taman bermain bagi generasi yang menganggap semuanya bisa didapatkan dengan satu klik. Mari kita renungkan sejenak. Kemudahan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari darah, keringat, dan air mata orang-orang di masa lalu. Mereka yang bekerja tanpa henti, menggali ilmu, menaklukkan alam, bahkan mengorbankan nyawa demi sebuah visi—sebuah dunia yang lebih baik, lebih nyaman, lebih maju. Namun, apa yang kita lakukan dengan warisan itu? Alih-alih menghormati perjuangan mereka, kita justru larut dalam kenikmatan yang mereka ciptakan. Kini, kita hidup di zaman di mana semua serba instan. Ingin makan? Pesan lew...

Akal yang Terjebak dalam Absurdnya Dunia

Tuhan memberiku akal, katanya untuk memahami dunia. Tapi sungguh, semakin aku mencoba mengerti, semakin absurd rasanya hidup ini. Ada begitu banyak hal yang melampaui nalar, melampaui logika yang katanya merupakan keunggulan manusia dibanding makhluk lainnya. Dunia ini, dengan segala kompleksitasnya, terasa seperti labirin tanpa ujung. Aku terus berjalan, mencari jalan keluar, tapi yang kutemukan hanyalah dinding-dinding baru yang tak bisa kutembus. Petunjuk Tuhan, katanya ada di mana-mana. Tapi bukankah petunjuk itu terlalu samar? Bahkan seorang detektif dengan kemampuan analisis paling canggih sekalipun mungkin akan menyerah membaca teka-teki ini. Semua terlihat seperti teka-teki silang tanpa petunjuk, atau mungkin petunjuk itu ada, tapi terlalu kabur untuk ditangkap. Aku bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud Tuhan? Mengapa Dia menciptakan dunia yang tampak seperti permainan yang terlalu rumit untuk dimainkan? Aku mencoba merancang hidupku. Satu tahun ke depan, lima tahun ke depan, s...

Dari Asing Menjadi Asing: Ironi Keberadaan yang Tak Pernah Ada

Apa sebenarnya artinya aku dalam hidup kalian? Apakah aku ada? Atau aku hanya sekadar sosok yang lewat, seperti bayangan yang muncul sebentar lalu menghilang? Mungkin, bagi sebagian dari kalian, aku ini hanya angin, tak kasat mata, terasa sebentar lalu sirna. Aku sering bertanya-tanya, apakah keberadaanku benar-benar berarti, atau hanya sekadar formalitas dalam ruang-ruang sosial kalian? Kita berbicara, tertawa, berbagi cerita, sesaat aku merasa penting. Tapi nyatanya, aku sadar, kalian memperhatikanku hanya ketika aku dekat, hanya ketika aku relevan bagi kepentingan kalian. Setelah semua itu usai, apa aku masih ada? Tidak, aku kembali menjadi bayangan. Kita yang dulu dekat berubah menjadi asing. Ironinya, aku pun terjebak dalam pola yang sama. Bukankah aku juga pernah melupakan orang lain yang dulu dekat denganku? Begitu cepatnya hubungan-hubungan itu memudar, seolah tak pernah ada. Dari teman menjadi kenalan, dari kenalan menjadi nama yang samar di kepala, lalu hilang beg...

Untuk Apa Aku Hidup dan Tuhan Menciptakan Dunia

Sulit rasanya menjadi seorang pendiam di dunia yang terus memaksaku bergerak, walaupun kadang aku hanya ingin duduk diam, melamunkan masa depan yang entah akan jadi apa. Tapi tidak, dunia ini tidak memberi kesempatan untuk berhenti. "Bergeraklah!" kata mereka. "Bergerak sampai ajal menjemput!" Apa ini hidup, atau hanya perlombaan tanpa garis akhir? Setiap hari, dunia ini seperti kaset rusak yang hanya memutar satu tema: pekerjaan, uang, dan kebutuhan yang tak pernah habis. Apakah hidup ini hanya tentang susu bayi, uang sekolah anak, dan membayar tagihan? Benarkah ini tujuan Tuhan menciptakan dunia? Untuk membuat kita seperti hamster di roda berputar, terus berlari tanpa henti, sampai akhirnya jatuh kelelahan? Ah, surga dan neraka, dua konsep yang sering dilemparkan sebagai motivasi atau ancaman. "Hiduplah baik agar masuk surga," kata mereka. Tapi tunggu dulu, apa jaminannya? Bukankah ada cerita tentang orang baik yang malah masuk neraka, dan orang buruk ya...

Bukan Perintis, Bukan Pewaris: Ironi Hidup di Zaman Serba Sulit

Aku ini bukan perintis, apalagi pewaris. Sebuah kenyataan yang membuat hidup di zaman sekarang terasa seperti berjalan di atas duri. Tidak ada warisan tanah, rumah, atau bahkan sepotong warung kecil yang bisa aku jadikan tumpuan hidup. Warisan hanyalah sebuah dongeng yang didengungkan di masa kecil, sementara kenyataan memaksaku untuk menjadi perintis. Tapi menjadi perintis? Ah, itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Zaman sekarang, untuk menjadi perintis, semuanya butuh modal. Bahkan modal untuk sekadar berharap. Ingin membuka usaha kecil-kecilan? Siapkan uang sewa tempat, pajak yang mencekik, biaya operasional, dan persaingan yang tak pernah tidur. Dan jangan lupakan kecurangan. Dunia ini penuh dengan pendusta yang justru menjadi juara, sementara orang jujur seperti aku hanya bisa menjadi penonton di pinggir arena. Tapi lucunya, ketika aku mencoba berpikir untuk bermain curang, aku sadar bahwa menjadi buruk tidak membuat keadaan lebih baik. Justru semakin sulit, karena aku tid...

Aku Ingin Mati Tetapi Masih Ingin Makan

Aku ingin mati, tapi aku juga ingin makan. Sebuah ungkapan sederhana yang, entah kenapa, terasa seperti menggambarkan seluruh absurditas hidupku. Setiap hari, aku bangun dengan rasa malas yang sama, menghadapi dunia yang rasanya terlalu berat untuk dijalani.  Namun, meski ada keinginan untuk menyerah pada hidup, tubuhku tetap memiliki agenda lain: mencari makanan. Bukankah itu lucu? Sementara pikiranku terus bermain-main dengan ide kematian, perutku memaksaku untuk terus hidup.  Setiap hari, aku mengayuh sepeda tua yang sudah hampir reot, menyusuri jalanan demi sekadar mengisi perut. Jalan yang kulalui terkadang begitu berbahaya- kendaraan melesat seperti tidak peduli pada siapa pun. Di saat-saat seperti itu, sering terlintas pikiran, bagaimana kalau aku sengaja menyerahkan diriku pada takdir? Mungkin kalau tertabrak, semuanya selesai. Tapi nyatanya, aku selalu sigap menghindar, hampir seperti refleks yang menolak untuk menyerah. Ironis, bukan? Aku ingin mati, tapi tubuhku mal...

Idealisme, Privilese, dan Tantangan Realitas

  Menjadi seorang idealis sering kali dianggap sebagai sebuah perjalanan intelektual yang mulia, melibatkan gagasan-gagasan besar yang logis dan penuh visi. Namun, idealisme bukan hanya soal berpikir logis atau memiliki visi utopis. Ia juga harus mampu menjawab tantangan yang nyata, menjembatani gagasan dengan tindakan, dan mengatasi keterbatasan yang ada. Dalam kenyataan hidup, mempertahankan idealisme membutuhkan lebih dari sekadar keyakinan; ia juga membutuhkan privilese. Tanpa harta, kekuasaan, atau pengaruh, seberapa jauh seseorang bisa membawa idealismenya tetap bertahan di tengah realitas yang keras? Privilese memberikan ruang dan kebebasan bagi idealisme untuk berkembang. Orang-orang dengan privilese memiliki akses ke sumber daya, waktu, dan kesempatan untuk mewujudkan gagasan mereka. Dengan kekayaan, mereka dapat mendukung gerakan atau ide yang mereka percayai. Dengan kekuasaan, mereka memiliki pengaruh untuk membuat perubahan struktural. Dengan popularitas, mereka mampu m...

Roda yang Macet

Kehidupan sering kali diibaratkan seperti roda yang terus berputar. Pepatah ini mencerminkan harapan bahwa hidup akan selalu mengalami perubahan; yang di atas akan turun, dan yang di bawah akan naik. Namun, apakah kenyataan benar-benar sejalan dengan pepatah ini? Dalam praktiknya, roda kehidupan sering kali tampak macet, tidak bergerakj sebagaimana mestinya. Mereka yang berada di atas—dengan kekayaan, jabatan, dan kekuasaan—seakan memiliki daya untuk menghentikan roda tersebut agar tetap berpihak pada mereka. Kekayaan mereka terus bertambah, kekuasaan mereka kian mengakar, sementara mereka yang berada di bawah hanya bisa diam, melamun, dan meratapi nasib. Mereka yang menikmati posisi puncak tentu tidak akan dengan sukarela berbagi kenikmatan yang telah mereka miliki. Kekuasaan dan harta yang mereka genggam dijaga dengan segala cara, bahkan sering kali dengan cara yang melukai mereka yang ada di bawah. Dalam dunia seperti ini, hidup tidak lagi tentang roda yang berputar, tetapi tentang ...