Langsung ke konten utama

Tiada Hidup yang Penuh Kenormalan

Dalam kehidupan yang serba kenormalan ini, konsep tentang keberlanjutan hidup dalam "normal" sering kali menjadi suatu paradoks yang rumit. Orang sering merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang normal, dan pandangan terhadap keanehan terkadang bersifat subjektif. Namun, perlu diakui bahwa kehidupan normal itu sendiri hanyalah suatu persepsi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Banyak dari kita cenderung menganggap apa yang kita lakukan sehari-hari sebagai suatu kebiasaan yang normal. Misalnya, rutinitas pagi kita, cara kita berpakaian, atau bahkan cara kita menanggapi suatu situasi. Namun, jika kita melihat kehidupan orang lain, mungkin kita akan menemui kebiasaan yang sangat berbeda dan mungkin terasa aneh bagi kita. Inilah titik awal dari pemahaman bahwa kehidupan yang normal sebenarnya bersifat relatif.

Mungkin kita jarang atau bahkan belum pernah melihat kelakuan orang lain yang benar-benar berbeda dengan kita. Ini bisa menjadi penyebab kita merasa bahwa kehidupan kita adalah kehidupan yang normal dan apa pun di luar itu adalah hal yang aneh. Namun, apakah kita pernah berpikir bahwa pandangan orang lain terhadap kehidupan kita juga mungkin sama? Bagi mereka, cara kita menjalani hidup mungkin juga terlihat aneh.

Dalam melihat keberlanjutan hidup, perlu diingat bahwa kehidupan yang normal itu hanyalah sebuah anggapan pribadi. Apa yang dianggap normal oleh satu individu tidak selalu sama dengan pandangan orang lain. Ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial, pengalaman pribadi, dan nilai-nilai yang dianut oleh masing-masing individu.

Setiap manusia, sebagai individu yang unik, dibentuk oleh berbagai campuran faktor. Ada faktor sosial yang memainkan peran dalam membentuk norma-norma dalam masyarakat. Ada faktor psikologis yang mempengaruhi cara seseorang memandang dunia dan dirinya sendiri. Ada juga faktor fisik, seperti kondisi kesehatan dan keadaan tubuh, yang dapat memengaruhi cara seseorang menjalani hidupnya. Semua faktor ini saling berinteraksi dan menciptakan suatu kesatuan karakter yang utuh.

Melihat dari sudut pandang ini, bisa dikatakan bahwa tidak ada kehidupan yang benar-benar normal. Setiap individu membawa keunikan mereka sendiri ke dalam dunia ini. Keberlanjutan hidup yang serba kenormalan ini sebenarnya merupakan cermin dari keberagaman yang ada di antara kita. Mungkin, kita bisa menggantikan kata "normal" dengan "beragam" karena keberagaman inilah yang membuat hidup begitu menarik dan berharga.

Dalam menghadapi perbedaan dan keanehan, penting bagi kita untuk memiliki sikap terbuka dan toleran. Menghargai perbedaan merupakan langkah pertama menuju pemahaman bahwa kehidupan yang normal sebenarnya adalah konsep yang dapat didefinisikan ulang oleh setiap individu. Ketika kita memahami bahwa tidak ada satu standar normal yang berlaku untuk semua, kita dapat lebih mudah menerima keberagaman dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...