Langsung ke konten utama

Problematika Pendidikan: Mencontek Sebagai Cermin Kegagalan Sistem

Pendidikan, sebagai fondasi pembangunan suatu bangsa, seharusnya menjadi wahana untuk membentuk generasi yang cerdas, kreatif, dan berakhlak baik. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak kendala dan problematika yang perlu kita hadapi, salah satunya adalah fenomena mencontek yang masih merajalela di kalangan siswa. Hal ini mencerminkan ketidaksempurnaan sistem pendidikan kita yang terkadang lebih mengedepankan nilai daripada pembentukan karakter.

Salah satu alasan utama di balik maraknya kegiatan mencontek adalah kurangnya kesiapan siswa dalam menghadapi ujian. Banyak dari mereka yang tidak siap karena belajar kurang maksimal atau bahkan tidak belajar sama sekali. Kondisi ini menciptakan tekanan tersendiri bagi siswa, yang kemudian mencari cara instan untuk mengatasi ketidaksiapan mereka. Mencontek menjadi jalan pintas yang dianggap mudah untuk meraih nilai tanpa harus melalui proses belajar yang cukup.

Di sisi lain, ada pula siswa yang belajar hanya ketika mendekati jadwal ujian. Ini menciptakan pola pembelajaran yang tidak optimal, di mana siswa lebih fokus pada pencapaian nilai daripada pemahaman konsep. Sistem evaluasi yang lebih menekankan pada hasil ujian daripada proses belajar juga turut mendukung terjadinya fenomena ini. Seiring waktu, siswa terdorong untuk melihat ujian sebagai tujuan akhir, bukan sebagai bagian dari proses pembelajaran yang berkelanjutan.

Namun, masalah tidak hanya terletak pada kurangnya kesiapan siswa. Ketakutan terhadap nilai jelek juga menjadi pemicu utama praktik mencontek. Siswa cenderung mengabaikan proses belajar yang sehat dan memilih untuk mengejar nilai tinggi agar terlihat baik di mata orang lain, terutama dalam nilai raport. Fenomena ini mencerminkan orientasi sistem pendidikan kita yang terlalu mengejar prestasi akademis tanpa memperhatikan perkembangan karakter dan moral siswa.

Sejatinya, sistem pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada pencapaian nilai, tetapi juga pada pembentukan pribadi yang berakhlak baik. Perilaku mencontek yang dilakukan demi meraih nilai tinggi, namun diiringi dengan kepribadian yang kurang baik, seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua. Pendidikan seharusnya menjadi tempat untuk membentuk karakter, membangun kemampuan berpikir kritis, dan menanamkan nilai-nilai moral.

Dalam menghadapi problematika ini, perlu adanya perubahan paradigma dalam sistem pendidikan. Pembelajaran harus lebih menekankan pada pemahaman konsep, pengembangan kreativitas, dan pembentukan karakter. Evaluasi seharusnya lebih holistik, melibatkan berbagai aspek kemampuan siswa, bukan hanya mengukur sejauh mana mereka bisa mengingat informasi untuk ujian.

Sebagai masyarakat, kita juga perlu mendukung perubahan tersebut dengan mengubah pandangan terhadap pendidikan. Memberikan apresiasi bukan hanya pada siswa yang memiliki nilai tinggi, tetapi juga pada mereka yang memiliki karakter yang baik, kreativitas, dan keberanian untuk belajar dari kesalahan. Hanya dengan begitu, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan dunia dengan lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...