Langsung ke konten utama

Membongkar Mitos Kebiasaan: Ketika 'Normal' Tidak Selalu Baik

Dalam keseharian kita, seringkali kita menyaksikan dan mengikuti apa yang dianggap 'normal' oleh masyarakat. Namun, pada closer inspection, konsep kebiasaan ini dapat menjadi sebuah ilusi. Sejatinya, tidak ada yang benar-benar normal di dunia ini; yang ada hanyalah kebiasaan yang berulang dan kemudian dianggap sebagai suatu kenormalan.

Pertama-tama, perlu dicatat bahwa kebenaran di masa lalu tidak selalu bersifat mutlak. Terkadang, masyarakat mengakar pada kebiasaan dan keyakinan yang telah ada sejak zaman dahulu kala, bahkan ketika fakta dan bukti baru muncul yang seharusnya meredefinisi pandangan tersebut. Masalahnya timbul ketika 'normalitas' ini menghambat perkembangan dan penyesuaian dengan informasi baru yang lebih akurat.

Contohnya, dalam banyak masyarakat, terdapat kecenderungan untuk mempertahankan tradisi tanpa mempertimbangkan implikasi modern. Suatu tradisi bisa saja mencakup tindakan keras terhadap anak-anak dengan alasan bahwa itu adalah bagian dari kekuatan mereka. Namun, apakah kekerasan itu benar-benar menjadi penentu kekuatan? Di sinilah terjadi konflik antara apa yang dianggap normal di masa lalu dan realitas yang terungkap di masa kini.

Penting untuk memahami bahwa melestarikan budaya adalah suatu hal yang bernilai, tetapi hal tersebut haruslah diperbarui dengan pemahaman yang lebih mendalam. Tidak semua aspek kebiasaan masa lalu dapat dengan mudah diadaptasi ke dalam zaman modern yang terus berkembang. Sebuah tradisi tidak selalu mencerminkan kebenaran atau kemanfaatannya di tengah dinamika masyarakat saat ini.

Seiring berjalannya waktu, pemikiran dan pandangan manusia berkembang. Apa yang dianggap normal pada satu titik waktu bisa saja dianggap kontroversial atau bahkan tidak etis di masa mendatang. Oleh karena itu, penting untuk selalu melibatkan fakta dan informasi terkini dalam pembahasan mengenai kebiasaan dan norma.

Ketidakmampuan untuk meremehkan atau bahkan mengubah apa yang dianggap normal oleh masyarakat dapat berakibat pada stagnasi sosial dan budaya. Inovasi dan progresivitas seringkali terhambat oleh ketakutan untuk melanggar norma yang telah ada. Oleh karena itu, mengajak masyarakat untuk mempertimbangkan kembali apa yang dianggap normal dan mengukurnya dengan standar kebenaran dan keadilan saat ini sangatlah penting.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kebiasaan yang berulang-lulang mungkin hanya merupakan ilusi kenormalan. Penting bagi kita untuk selalu mempertanyakan dan mengevaluasi apa yang dianggap normal oleh masyarakat, dan apakah kebiasaan tersebut sesuai dengan perkembangan dan nilai-nilai yang kita anut di masa kini. Hanya dengan cara itulah kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, progresif, dan sesuai dengan tuntutan zaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...