Langsung ke konten utama

Kebenaran Dilihat dari Kacamata Sejarah

Sejarah, sebagai kumpulan catatan peristiwa masa lampau, adalah cermin dari kehidupan manusia. Dalam setiap lembarannya terdapat kisah kebenaran yang berkembang seiring waktu. Bicara tentang sejarah, kita tak bisa menghindari keterkaitannya dengan kebenaran yang hidup dalam masyarakat. Namun, kebenaran ini bukanlah entitas statis; ia hidup dan berubah seiring perjalanan waktu dan perubahan peradaban.

Kebenaran, pada dasarnya, bukanlah konsep yang dapat diukur dengan rumus baku. Ia melibatkan banyak dimensi dan kompleksitas, mencakup segala aspek kehidupan manusia. Melihatnya hanya dari sisi logika adalah pemikiran yang terlalu sempit, karena kebenaran juga mencakup dimensi moral, etika, sosial, spiritual, dan bahkan sains.

Dalam setiap zaman, kebenaran mengalami metamorfosis. Zaman klasik memiliki kebenaran yang berbeda dengan zaman modern. Misalnya, pada masa feodal, kebenaran seringkali dipegang oleh raja atau penguasa sebagai entitas tertinggi. Namun, seiring bergulirnya waktu menuju era modern, hak asasi manusia muncul sebagai entitas kebenaran yang semakin tinggi.

Perubahan dalam sejarah tidak hanya mencerminkan transformasi kebenaran, tetapi juga memunculkan konflik dan pertentangan dalam masyarakat. Transisi dari satu bentuk kebenaran ke bentuk lainnya seringkali menimbulkan konflik kelas, di mana kelompok bawah merasa adanya ketidakadilan dan kebenaran yang terabaikan. Inilah yang memicu tuntutan untuk perubahan.

Contohnya, perubahan dari masa feodal ke era modern membawa pergeseran dalam persepsi kebenaran. Kelas bawah, yang sebelumnya tunduk pada kebenaran yang dipegang oleh penguasa, mulai menuntut hak asasi manusia sebagai bagian dari kebenaran yang lebih adil. Konflik kelas muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kebenaran yang dianggap tidak adil dan mengekang.

Namun, perubahan kebenaran tidak selalu berjalan mulus. Terdapat perjuangan, pertentangan, dan konflik dalam merebut hegemoni kebenaran baru. Bagi mereka yang sudah terbiasa dengan kebenaran lama, transisi ini seringkali dianggap sebagai ancaman terhadap status quo yang mereka nikmati.

Seiring berjalannya waktu, kita belajar bahwa kebenaran adalah sesuatu yang dinamis, bukan entitas statis yang terpaku pada satu sudut pandang. Kita melihat bahwa masyarakat yang sehat adalah yang mampu mengakomodasi berbagai perspektif kebenaran, menghargai kompleksitas kehidupan, dan bersedia untuk tumbuh dan berubah seiring waktu.

Jadi, bicara tentang sejarah dan kebenaran, kita menyadari bahwa keduanya saling terkait. Sejarah adalah saksi bisu dari evolusi kebenaran manusia, dari zamannya yang paling klasik hingga modern. Seiring perguliran waktu, kita harus belajar menerima dan memahami bahwa kebenaran adalah peta yang terus berubah, dan membuka pikiran untuk memahami dimensi-dimensi yang berbeda dalam membangun kebenaran itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...