Langsung ke konten utama

Overthinking: Menghalangi Kebahagiaan yang Sejati

Pernahkah Anda merasa sulit untuk benar-benar bahagia, meskipun hidup Anda tampaknya baik-baik saja? Mungkin saja, overthinking atau terlalu banyak berpikir menjadi salah satu penyebabnya. Overthinking bukan hanya sekadar mengkhawatirkan masa depan atau mengingat-ingat masa lalu, tetapi juga bisa menjadi penghalang utama untuk merasakan kebahagiaan yang sejati.

Orang-orang yang cenderung overthinking seringkali memiliki kecenderungan untuk memproyeksikan pikiran negatif ke dalam segala aspek kehidupan mereka. Mereka sulit merasakan kebahagiaan karena terus-menerus terjebak dalam pikiran yang berlebihan dan seringkali tidak beralasan. Sejatinya, kebahagiaan bersumber dari kemampuan untuk menikmati momen-momen kecil tanpa terbebani oleh ketakutan atau kecemasan berlebihan.

Salah satu dampak paling mencolok dari overthinking adalah sulitnya menerima kebaikan dari kehidupan. Misalnya, ketika seseorang yang overthinking diberikan sesuatu, entah itu berupa pencapaian atau hadiah, mereka cenderung merespon dengan skeptisisme dan kecurigaan. Mereka mungkin tidak bisa sepenuhnya menikmati kebahagiaan tersebut karena pikiran mereka terus-menerus meragukan niat baik orang lain atau bahkan meragukan diri sendiri.

Pernyataan bahwa hanya orang-orang yang tidak overthinking yang bisa benar-benar bahagia bukanlah klaim mutlak, namun, banyak penelitian dan pengalaman pribadi mendukung ide bahwa pikiran yang terlalu analitis dan negatif dapat menghambat kemampuan seseorang untuk merasakan kebahagiaan yang sejati. Terlalu banyak memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk atau mengkhawatirkan hal-hal yang tidak dapat diubah hanya akan menguras energi positif dan mengganggu keseimbangan emosional.

Sebuah studi psikologi menyatakan bahwa kebanyakan dari kita lebih sering khawatir tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang tidak pernah terjadi daripada menikmati momen sekarang. Overthinking bisa membuat kita kehilangan kenikmatan hidup karena fokus pada kemungkinan-kemungkinan negatif yang belum tentu terjadi. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa kebahagiaan sejati seringkali terletak pada kemampuan untuk hidup dalam momen dan merasakan kegembiraan dari hal-hal sederhana.

Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa overthinking juga dapat merugikan hubungan sosial seseorang. Misalnya, dalam hubungan romantis, seseorang yang cenderung overthinking mungkin sulit untuk percaya pada pasangannya sepenuhnya. Mereka terjebak dalam pikiran-pikiran negatif bahwa pasangannya mungkin tidak setia atau melakukan sesuatu yang merugikan hubungan. Hal ini bisa menyebabkan ketegangan dan konflik yang tidak perlu, menghambat kemungkinan untuk merasakan kebahagiaan dalam hubungan tersebut.

Bagaimana mengatasi overthinking? Pertama-tama, menyadari bahwa overthinking adalah masalah adalah langkah pertama yang penting. Kemudian, berusaha untuk mempraktikkan mindfulness atau kesadaran diri dapat membantu seseorang untuk lebih fokus pada momen sekarang dan mengurangi kecenderungan untuk terjebak dalam pikiran berlebihan.

Selain itu, berbicara dengan seseorang yang dipercaya, seperti teman atau profesional kesehatan mental, juga bisa menjadi langkah penting untuk mendapatkan dukungan dan perspektif yang lebih objektif. Terkadang, melibatkan orang lain dapat membantu melihat situasi dari sudut pandang yang lebih positif dan membantu meredakan overthinking.

Kesimpulannya, kebahagiaan sejati seringkali terlepas dari kemampuan untuk mengendalikan overthinking. Hidup dalam momen, bersyukur atas kebaikan yang ada, dan memahami bahwa pikiran negatif tidak selalu mencerminkan kenyataan adalah kunci untuk merasakan kebahagiaan yang sejati. Jadi, cobalah untuk melepaskan diri dari belenggu overthinking dan mulailah menikmati hidup dengan lebih ringan dan bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...