Langsung ke konten utama

Memahami Keterbatasan Kepercayaan: Sebuah Refleksi Pribadi

Ketika membicarakan kepercayaan, saya adalah salah satu individu yang menempatkan batas yang tinggi dalam mempercayai orang lain. Bukan tanpa alasan, namun lebih karena pengalaman hidup yang telah membentuk pandangan saya terhadap kompleksitas manusia dan perubahan sikap yang seringkali sulit diprediksi.

Bagi saya, mempercayai seseorang bukanlah tindakan yang dilakukan dengan ringan. Saya percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berubah seiring waktu, dan keyakinan hari ini mungkin tidak lagi relevan besok. Ini bukanlah sebuah pandangan yang pesimis, melainkan hasil dari observasi dan refleksi mendalam terhadap dinamika hubungan manusia.

Pertama-tama, saya melihat bahwa konsistensi adalah kunci utama dalam membangun kepercayaan. Seseorang yang mampu konsisten dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai mereka setiap hari dan setiap saat, memberikan dasar yang kuat bagi orang lain untuk mempercayainya. Konsistensi menciptakan fondasi kepercayaan yang solid, karena itu menunjukkan keteguhan karakter dan integritas seseorang.

Namun, konsistensi bukanlah satu-satunya faktor yang saya pertimbangkan. Saya lebih memilih untuk mempercayai orang yang tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak sesuai dengan kata-katanya. Tindakan nyata yang mendukung perkataan menjadi bukti konkret bahwa seseorang tidak hanya berbicara kosong, tetapi benar-benar berkomitmen pada apa yang diucapkannya. Ini adalah langkah yang lebih jauh dalam membangun kepercayaan, karena perbuatan melebihi sekadar kata-kata.

Namun, meskipun saya menyadari pentingnya kepercayaan, saya tetap skeptis. Bagi saya, kepercayaan adalah sebuah investasi emosional yang tidak boleh dianggap enteng. Mencari orang yang benar-benar dapat dipercaya dapat menjadi tugas yang sulit. Hal ini karena kepercayaan berarti kita harus menyerahkan sebagian dari diri kita kepada orang lain, dan tidak semua orang layak menerima tanggung jawab tersebut.

Satu cara untuk mengatasi ketidakpercayaan saya adalah dengan melihat pada rekam jejak seseorang. Orang yang telah dipercaya oleh banyak orang dan memiliki reputasi baik cenderung lebih dapat diandalkan. Melihat karakteristik seseorang dari sudut pandang orang lain membantu saya membentuk gambaran yang lebih lengkap dan objektif tentang mereka.

Memang, sulit bagi saya untuk mempercayai orang lain karena saya melihat kompleksitas dan ketidakpastian dalam perilaku manusia. Meskipun demikian, saya menyadari bahwa kepercayaan adalah elemen penting dalam hubungan sosial dan profesional. Oleh karena itu, saya berusaha untuk tetap terbuka terhadap kemungkinan mempercayai orang lain dengan mempertimbangkan konsistensi, tindakan nyata, dan reputasi mereka dalam masyarakat. Meski sulit, membangun kepercayaan adalah langkah penting dalam memperkaya dan memperluas jaringan hubungan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...