Langsung ke konten utama

Melampaui Angka: Kritik Terhadap Sistem Penilaian Kecerdasan Berbasis Numerik di Dunia Pendidikan

Seiring berjalannya waktu, sistem penilaian kecerdasan dalam dunia pendidikan masih seringkali terpaku pada angka-angka. Guru, sebagai penilai utama, kerap menilai kemampuan seorang murid hanya berdasarkan prestasi numerik yang diperolehnya. Meskipun angka-angka tersebut memberikan gambaran sebagian dari kemampuan akademis, kita perlu menyadari bahwa kecerdasan seseorang tidak dapat diukur secara sempit dan terbatas.

Salah satu alasan utama mengapa sistem penilaian ini masih bertahan adalah karena kemudahannya. Angka-angka memberikan representasi yang sederhana dan mudah dipahami. Namun, kita perlu bertanya, apakah pendekatan ini benar-benar mencerminkan keberagaman dan kompleksitas manusia? Apakah kecerdasan seseorang dapat direduksi menjadi sekadar serangkaian angka?

Penting untuk dipahami bahwa manusia bukanlah entitas yang dapat diprogram seperti komputer atau robot. Mereka memiliki ragam respon, perilaku, sifat, dan sikap yang tidak dapat diukur dengan angka semata. Kecerdasan seseorang melibatkan aspek-aspek kompleks seperti kreativitas, pemecahan masalah, serta kemampuan sosial dan emosional. Hal-hal inilah yang seringkali terabaikan oleh sistem penilaian berbasis numerik.

Dalam konteks pendidikan, peran guru sangat vital. Namun, fokus pada angka dapat menciptakan kesenjangan emosional antara guru dan murid. Sebagai contoh, ketika seorang guru lebih memprioritaskan pencapaian angka daripada memahami keunikan setiap murid, maka hubungan emosional antara keduanya bisa menjadi kurang mendalam. Guru perlu melibatkan diri lebih jauh dalam menggali potensi dan karakteristik unik setiap murid, bukan hanya mengukur sejauh mana mereka dapat mengingat informasi atau menjawab soal ujian.

Selain itu, sistem penilaian yang berfokus pada angka juga cenderung memberikan tekanan berlebihan pada murid. Beberapa siswa mungkin merasa terbebani dan stres karena ketakutan tidak dapat mencapai angka yang diharapkan. Ini dapat menghambat kreativitas dan motivasi intrinsik untuk belajar, karena fokus utama terletak pada pencapaian angka daripada pemahaman konsep dan pengembangan keterampilan.

Oleh karena itu, perlu adanya perubahan paradigma dalam penilaian kecerdasan di dunia pendidikan. Guru perlu melihat murid sebagai individu yang kompleks dan unik, bukan sekadar sekumpulan angka. Pendidikan seharusnya mendorong perkembangan seluruh aspek kecerdasan, termasuk aspek emosional, sosial, dan kreatif.

Dalam mengakhiri penilaian kecerdasan yang terlalu terfokus pada angka, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih mendukung pertumbuhan holistik. Mengakui keberagaman kecerdasan dan memberikan ruang bagi setiap murid untuk berkembang sesuai potensinya adalah kunci untuk menciptakan generasi yang lebih berdaya, kreatif, dan memahami nilai-nilai kemanusiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...