Kaum kapitalis, makhluk yang sering kali menjadi objek tanya-tanya bagi banyak orang. Mengapa mereka begitu sarkastis dalam tindakan mereka? Apakah mereka benar-benar kehilangan perasaan, ataukah ini hanya mitos yang dilebih-lebihkan? Mari kita korek lebih dalam ke dalam dunia kekapitalisan yang kelam, di mana keuntungan menjadi raja dan perasaan tertinggal jauh di belakang.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah manusia yang terlibat dalam kapitalisme benar-benar kehilangan perasaan mereka? Seorang kapitalis, seiring waktu, dapat digambarkan sebagai individu yang lebih terikat pada grafik keuntungan daripada kebahagiaan manusiawi. Awalnya, seorang pedagang mungkin menjual dengan senang hati, meracik masakan dengan cinta dan perasaan, namun bagaimana hal ini berubah ketika mereka naik tangga kapitalis?
Sebuah produksi, yang pada awalnya mungkin tercipta dengan semangat kreatif dan perasaan, sekarang sering kali dihasilkan tanpa pertimbangan emosional. Sebuah barak mungkin dibangun tanpa kelembutan perasaan, lebih seperti cetakan beton dingin daripada sarang hangat untuk kreativitas. Ironisnya, apakah kapitalisisme telah membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi atau hanya menghancurkan keindahan perasaan manusiawi?
Ketika seorang pedagang menjadi kapitalis, tujuan mereka berubah. Awalnya, memasak atau menciptakan produk mungkin didasari oleh keinginan untuk menyenangkan orang lain. Namun, ketika orientasi beralih ke arah keuntungan semata, segalanya menjadi semakin dingin dan tanpa perasaan. Seakan-akan kebahagiaan orang lain bukan lagi tujuan utama, melainkan hanya efek samping dari pengejaran keuntungan pribadi.
Seorang kapitalis bisa menciptakan produk dengan cara yang sepenuhnya tidak mempedulikan apakah orang menyukainya atau tidak. Meskipun tujuannya adalah agar banyak orang tertarik, orientasi yang jelas berbeda. Ini bukan lagi tentang memberikan kebahagiaan kepada orang lain, tetapi tentang menciptakan daya tarik agar orang terpaku pada produknya, bahkan jika itu dilakukan dengan cara yang kejam dan tanpa belas kasihan.
Bagaimana kaum kapitalis bisa melakukan ini tanpa perasaan? Apakah mungkin manusia kehilangan sisi kemanusiaannya begitu saja? Mungkin, atau mungkin ini adalah tanda dari suatu evolusi di mana keuntungan telah mengalahkan empati. Dalam dunia kekapitalisan, para pemain utamanya mungkin memandang perasaan sebagai beban yang tidak perlu, sesuatu yang hanya menghalangi jalannya menuju puncak keberhasilan finansial.
Ironisnya, dalam upaya mereka untuk menarik perhatian dan memikat konsumen, kaum kapitalis dapat menjadi sangat sarkastis. Mereka mungkin menciptakan citra yang tampak menarik, tetapi di balik itu, tidak ada perasaan yang tulus atau niat baik. Itu semua hanyalah bagian dari pertunjukan untuk menarik perhatian dan, pada akhirnya, mencapai tujuan keuntungan mereka.
Namun, apakah benar-benar adil menyimpulkan bahwa kaum kapitalis kehilangan perasaan sepenuhnya? Mungkin tidak semua, tetapi dalam upaya mereka untuk mendominasi pasar dan mencapai keuntungan maksimal, mereka sering kali harus menutup mata terhadap aspek-aspek kemanusiaan. Mungkin ini adalah ironi terbesar dari semua: bahwa dalam mengejar keuntungan, manusia bisa kehilangan perasaan mereka sendiri.
Jadi, apakah kaum kapitalis benar-benar kehilangan perasaan atau hanya sedang memainkan peran dalam drama keuntungan? Ironisnya, jawabannya mungkin terletak di suatu tempat di antara keduanya. Tetapi satu hal yang pasti, dalam dunia kekapitalisan, perasaan tampaknya menjadi barang langka, dan sarkasme adalah mata uang utama.
Komentar
Posting Komentar