Langsung ke konten utama

Energi Terbarukan Sebagai Alat untuk Mempertahankan Kekuasaan Kapitalisme

Seiring dengan meningkatnya kesadaran tentang dampak negatif perubahan iklim dan ketergantungan kita pada bahan bakar fosil, energi terbarukan telah menjadi semakin populer sebagai alternatif yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Namun, dalam narasi ini, saya akan menjelaskan bahwa energi terbarukan juga dapat berfungsi sebagai taktik dalam mempertahankan kuasa kapitalisme. Meskipun energi terbarukan memiliki manfaat lingkungan yang jelas, kita harus berhati-hati terhadap kemungkinan dampak negatif yang terkait dengan implementasinya dalam konteks sistem ekonomi yang berpusat pada kapitalisme.

Pertama-tama, perlu diakui bahwa industri energi terbarukan adalah industri yang tergantung pada modal dan investasi yang besar. Perusahaan besar dan investor swasta seringkali menjadi pemain utama dalam mengembangkan proyek-proyek energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan turbin angin. Hal ini berarti bahwa kepemilikan dan pengendalian sumber daya energi terbarukan cenderung tetap di tangan kelompok-kelompok yang sudah memiliki kekuasaan ekonomi yang signifikan. Dalam sistem kapitalisme yang berpusat pada keuntungan dan akumulasi modal, perusahaan-perusahaan ini mungkin memanfaatkan energi terbarukan sebagai alat untuk mempertahankan dominasi mereka dalam pasar energi.

Selain itu, implementasi energi terbarukan dalam skala besar seringkali memerlukan infrastruktur yang mahal dan kompleks, seperti jaringan transmisi listrik yang luas. Pada saat yang sama, perusahaan besar yang berbasis kapitalisme juga memiliki kepentingan dalam mempertahankan infrastruktur yang ada dan mendominasi sektor energi. Dalam upaya untuk memasukkan energi terbarukan ke dalam sistem yang sudah ada, perusahaan-perusahaan ini mungkin menggunakan kekuatan politik dan ekonomi mereka untuk mempengaruhi kebijakan dan mengamankan keuntungan mereka sendiri. Dengan demikian, energi terbarukan bisa menjadi taktik yang digunakan oleh mereka untuk memperkuat posisi mereka dalam pasar energi.

Selanjutnya, dalam banyak negara, implementasi energi terbarukan sering kali didorong oleh insentif fiskal dan subsidi dari pemerintah. Meskipun tujuannya adalah untuk mendorong transisi ke sumber energi yang lebih bersih, insentif semacam itu juga dapat dimanfaatkan oleh perusahaan besar dalam mempertahankan keuntungan mereka. Mereka dapat memanfaatkan subsidi dan insentif fiskal untuk mengurangi biaya operasional mereka, meningkatkan daya saing, dan memperkuat posisi pasar mereka. Dalam konteks ini, energi terbarukan dapat menjadi alat bagi perusahaan-perusahaan besar untuk mempertahankan dominasi mereka dalam sistem kapitalis.

Selain itu, perlu diingat bahwa energi terbarukan sendiri tidak melawan prinsip-prinsip dasar kapitalisme, seperti persaingan pasar dan akumulasi keuntungan. Meskipun energi terbarukan membantu mengurangi emisi karbon dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, mereka tetap beroperasi dalam kerangka sistem ekonomi yang didasarkan pada pertumbuhan dan ekspansi tanpa batas. Dalam upaya untuk memenuhi permintaan energi yang terus meningkat, perusahaan-perusahaan energi terbarukan mungkin juga terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan lingkungan, seperti deforestasi untuk membangun pembangkit listrik tenaga biomassa atau pencemaran air oleh proyek-proyek pembangkit listrik tenaga air.

Dalam konteks ini, kita perlu mengadopsi pendekatan kritis terhadap implementasi energi terbarukan dan mempertanyakan apakah sistem kapitalisme dalam bentuknya yang sekarang dapat memfasilitasi transisi yang sebenarnya menuju energi yang berkelanjutan dan keadilan sosial. Diperlukan reformasi dan regulasi yang ketat untuk memastikan bahwa energi terbarukan tidak hanya menjadi taktik untuk mempertahankan kuasa kapitalisme, tetapi juga menjadi alat yang berdaya guna dalam mencapai tujuan yang lebih luas, seperti keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.

Dalam melangkah ke depan, penting untuk memastikan bahwa energi terbarukan diimplementasikan dalam konteks yang lebih holistik dan melibatkan partisipasi masyarakat yang luas. Langkah-langkah harus diambil untuk mempromosikan kepemilikan dan partisipasi masyarakat dalam proyek-proyek energi terbarukan, serta mendiversifikasi basis kepemilikan dalam industri tersebut. Pemerintah juga harus memainkan peran aktif dalam mengarahkan transisi energi, dengan mengadopsi kebijakan yang berfokus pada keadilan sosial dan lingkungan.

Dalam kesimpulan, energi terbarukan memiliki potensi yang besar dalam mengurangi dampak negatif perubahan iklim dan mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar fosil. Namun, kita harus mempertimbangkan bahwa energi terbarukan juga dapat menjadi taktik dalam mempertahankan kuasa kapitalisme. Untuk mencapai tujuan yang lebih luas dalam menciptakan sistem energi yang berkelanjutan dan adil, diperlukan pengawasan yang ketat, partisipasi masyarakat, dan perubahan fundamental dalam cara kita memahami dan menerapkan energi terbarukan.

Referensi:

1. Bulkeley, H., & Newell, P. (2015). Governing climate change. Routledge.

2. Clapp, J., & Dauvergne, P. (2011). Paths to a green world: The political economy of the global environment. MIT Press.

3. Castree, N. (2003). Commodifying what nature? Progress in Human Geography, 27(3), 273-297.

4. Bridge, G. (2014). Material worlds: Natural resources, resource geography and the material economy. Wiley.

5. Akenji, L., Bengtsson, M., & Hainoun, A. (2012). Renewable energy in the context of sustainable development. United Nations Environment Programme.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...