Langsung ke konten utama

Postingan

Rito si Tikus Kecil

Di sudut gelap sebuah gudang tua, di balik tumpukan karung beras yang sudah lapuk, hiduplah sebuah keluarga tikus. Keluarga kecil itu terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak tikus bernama Rito. Rito adalah anak tikus yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Setiap hari, ia selalu mengamati dunia di sekitarnya, terutama kehidupan manusia yang sering ia lihat dari celah-celah dinding gudang. Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya gelisah: kematian tetangga-tetangganya yang terjebak dalam perangkap tikus. Suatu pagi, Rito kembali menyaksikan pemandangan yang menyedihkan. Tetangganya, Banyan, seekor tikus dewasa yang dikenal sebagai tulang punggung keluarganya, mati terjebak dalam perangkap tikus. Keluarga Banyan menangis pilu, meratapi kepergiannya. Rito merasa sedih dan marah. Ia tidak mengerti mengapa hal ini terus terjadi. Ia pun mendekati ayahnya, yang sedang duduk termenung di sudut gudang. "Ayah, mengapa kita sering melihat tetangga kita mati seperti itu?" tanya Rito de...
Postingan terbaru

Cumlaude di Angkringan

Didit duduk di bangku kayu yang sudah lapuk di sebuah angkringan kecil di pinggir jalan. Udara malam yang lembap menyelimuti tubuhnya, tapi yang lebih berat adalah beban di pikirannya. Gelar sarjana dengan predikat cumlaude yang ia raih dengan susah payah seolah-olah tak berarti apa-apa. Sudah berbulan-bulan ia mengirimkan lamaran kerja ke berbagai perusahaan, tapi jawaban yang ia terima selalu sama: "Maaf, posisi yang Anda lamar sudah terisi," atau "Kami akan menghubungi Anda kembali." Tapi teleponnya tak pernah berdering. Ia menyeruput kopi hitam pahit yang sudah dingin, mencoba menenangkan diri. Matanya melirik ke sekeliling, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya dari kegagalan yang terus menghantuinya. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada seorang pria yang sedang duduk di meja sebelah. Pria itu mengenakan kaos oblong lusuh dan celana jeans robek, tapi aura percaya dirinya terpancar jelas. Didit mengenali wajah itu. Itu Jojo, teman sekelasnya dulu di S...

Naga Besi dan Emas Hitam

Di tengah hutan yang lebat, seekor anak orangutan bernama Kowi sedang bergelantungan di dahan pohon. Matanya yang tajam tiba-tiba menangkap sesuatu yang aneh di kejauhan. Ada benda besar berwarna hitam yang bergerak perlahan, mengeluarkan suara gemuruh. Benda itu seperti naga, tapi terbuat dari besi. Mulutnya yang besar seperti menggigit tanah, lalu menelannya. "Bu, lihat! Ada naga besi! Kenapa dia makan tanah?" tanya Kawi penasaran, menunjuk ke arah benda itu. Ibunya, yang sedang duduk di dahan sebelah, mengikuti arah jari Kowi. "Itu bukan naga, Nak. Itu mesin besar yang digunakan manusia. Tanah yang dimakannya itu sebenarnya emas hitam, atau batu bara." "Emas hitam? Kenapa mereka memakannya? Apa enak?" Kawi mengernyitkan dahi, tak mengerti. Ibunya menghela napas. "Mereka tidak memakannya seperti kita makan buah. Batu bara itu diambil untuk keuntungan mereka. Mereka menggunakannya untuk membuat energi, menjualnya, atau membuat barang-barang lain....

Hijau di Timur Jauh

Di sebuah negeri yang subur, hidup seekor kambing bernama Kawi. Ia tinggal di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau. Namun, kehijauan itu hanya ilusi belaka. Rumput-rumput yang dulu tumbuh subur kini telah habis dibabat oleh kaum kerbau yang berkuasa. Kawi merasa muak. Ia muak dengan keadaan di negerinya sendiri, di mana rumput hijau yang seharusnya menjadi hak semua kambing, kini dikuasai oleh segelintir kelompok. Kaum kerbau, yang merupakan pemimpin di negeri itu, telah menguasai hampir semua lahan subur. Mereka dan para pendukungnya hidup dalam kemewahan, sementara kambing-kambing seperti Kawi harus berjuang mati-matian hanya untuk mendapatkan sejumput rumput. Jika ada rumput yang tersisa, itu pun harus diperebutkan dengan hewan-hewan lainnya. Kawi seringkali pulang dengan perut kosong, merenungkan nasibnya yang tak kunjung membaik. “Kenapa harus seperti ini?” gumam Kawi suatu sore, sambil memandang langit yang mulai memerah. “Rumput itu seharusnya milik semua ka...

Takdir Sang Anak Ayam

Di sebuah peternakan kecil di pedesaan, seekor anak ayam bernama Kiki menetas dari telurnya. Ia adalah satu dari puluhan anak ayam yang lahir pada musim itu. Sejak kecil, Kiki selalu penasaran dengan dunia di sekitarnya. Ia sering bertanya-tanya mengapa dirinya dan keluarganya hidup di dalam kandang yang sempit, hanya diberi makan oleh manusia, dan tidak pernah bisa menjelajah dunia luar. Suatu hari, Kiki mendekati induknya, yang sedang duduk di sudut kandang sambil mematuk-matuk biji-bijian yang diberikan oleh peternak. "Ibu," tanya Kiki dengan suara kecil, "mengapa kita adalah ayam? Apa pekerjaan kita sebenarnya?" Induknya menghentikan aktivitasnya dan memandang Kiki dengan tatapan lembut namun sedih. "Nak, pekerjaan kita hanyalah bekerja untuk makan, makan, dan menjadi petelur atau pedaging," jawab induknya perlahan. "Jika kita adalah ayam petelur, hidup kita masih aman selama kita masih bisa bertelur. Tapi, ketika kita sudah tidak bisa bertelur la...

Mimpi Orang Miskin: Antara Eksperimen Sosial dan Tangga Sukses yang Patah

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang memuja kesuksesan, ada satu pertanyaan yang terus menggantung seperti bau tak sedap di ruang tamu: "Mengapa hanya segelintir orang miskin yang berhasil naik kelas, sementara sisanya terjebak dalam lumpur kemiskinan yang sama?" Apakah ini karena mereka malas? Ataukah ini adalah hasil dari sistem yang dirancang untuk memastikan bahwa tangga menuju kesuksesan hanya bisa didaki oleh mereka yang punya tali pengaman dari atas? Mari kita telusuri dengan kacamata satir, karena kadang-kadang, realita terlalu pahit untuk ditelan tanpa sedikit bumbu sindiran.   Pertama, mari kita akui bahwa ada orang miskin yang sukses. Mereka adalah pahlawan cerita rakyat modern: si penjual bakso yang jadi konglomerat, si buruh migran yang pulang membawa mobil mewah, atau si pemulung yang berhasil membangun sekolah gratis. Kisah-kisah ini dijual seperti tiket lotre: "Lihat, kamu juga bisa sukses seperti mereka! Asal rajin, jujur, dan punya mimpi besar!"* Tapi ...

Filsuf Tik-Tok: Ketika Filsafat Disingkat Jadi Caption, dan Kebijaksanaan Jadi Konten Viral

Di era di mana perhatian manusia lebih pendek dari durasi video TikTok, filsafat pun tak luput dari derasnya arus fast-food knowledge. Munculah para filsuf dadakan—mereka yang merasa cukup membaca satu paragraf pengantar buku Nietzsche atau menonton video 60 detik tentang Sartre untuk kemudian mengklaim diri sebagai ahli pemikiran. Dengan penuh percaya diri, mereka menyebarkan quote-quote singkat yang seolah-olah mengandung kebijaksanaan abadi, padahal isinya cuma copy-paste dari Goodreads. Filsafat, yang seharusnya menjadi medan perenungan mendalam, kini direduksi jadi sekadar caption Instagram atau status WhatsApp yang dibumbui hashtag #DeepThought.   Platform seperti TikTok dan Instagram menjadi panggung utama bagi para filsuf instan ini. Mereka berlomba-lomba membuat konten dengan latar belakang musik melankolis, menampilkan teks-teks seperti "Hidup ini absurd, tapi kita harus tetap tersenyum" atau "Apa arti cinta? Mungkin cinta adalah pertanyaan itu sendiri." K...