Langsung ke konten utama

Membebaskan Diri dari Kekuasaan Kapitalisme: Kehidupan di Bawah Bayang-Bayang Uang

Kapitalisme telah menjadi satu kekuatan dominan dalam pandangan hidup kita, membentuk cara kita memandang dunia dan menentukan nilai serta prioritas dalam kehidupan sehari-hari. Secara tidak sadar, kita terjebak dalam keyakinan bahwa segalanya memerlukan uang atau modal untuk memiliki nilai atau relevansi. Ketika seseorang mengatakan bahwa kebahagiaan tidak memerlukan uang, kita merasa tersindir, seolah-olah hidup tanpa uang adalah hal yang tidak mungkin atau tidak layak. Namun, seberapa benarkah pemahaman ini?

Kapitalisme telah mempengaruhi kita untuk melihat kebahagiaan sebagai sesuatu yang dapat dibeli dengan uang. Kita sering dihadapkan pada narasi bahwa memiliki kekayaan dan materialisme akan membawa kepuasan dan kebahagiaan. Saat kita menolak pernyataan bahwa kehidupan tidak memerlukan uang, kita sebenarnya telah terseret dalam jaringan ideologi kapitalisme.

Sebenarnya, uang hanyalah alat tukar yang diciptakan untuk memfasilitasi perdagangan dan transaksi. Ini bukan kebutuhan esensial hidup. Kebutuhan dasar manusia seperti udara, air, makanan, dan hubungan sosial tidak dapat diganti dengan uang. Contohnya, masyarakat adat yang hidup di hutan belantara dapat memenuhi kebutuhan mereka tanpa melibatkan uang sebagai mata uang tukar.

Masyarakat kapitalis telah membuat kita terikat dalam siklus ketergantungan pada uang. Kita dihadapkan pada tekanan untuk terus menghasilkan dan mengonsumsi, sehingga menjadi mesin pencetak uang bagi para pebisnis. Namun, kita perlu mempertanyakan apakah kebutuhan dan kebahagiaan sejati kita benar-benar tergantung pada akumulasi uang.

Kehidupan di hutan belantara memberikan contoh jelas bahwa manusia dapat hidup tanpa tergantung pada uang. Masyarakat adat di sana dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka. Mereka hidup dalam harmoni dengan alam dan satu sama lain, tidak terikat pada kehidupan yang didorong oleh konsumsi material.

Mengubah cara kita memandang hidup membutuhkan kesadaran akan dampak kapitalisme terhadap pola pikir kita. Kita perlu mempertimbangkan kembali nilai-nilai sejati kehidupan, seperti hubungan sosial yang kuat, kesehatan mental dan fisik, pengembangan pribadi, dan kepedulian terhadap lingkungan.

Kita bisa menemukan kebahagiaan di luar konteks kapitalis yang didorong oleh uang. Ini melibatkan mengembangkan koneksi yang lebih dalam dengan orang lain, mengejar hobi dan minat yang memberi kita kepuasan pribadi, serta menyadari bahwa nilai kehidupan sejati tidak selalu dapat diukur dalam bentuk materi.

Kapitalisme telah merubah cara kita memandang dunia, membuat kita percaya bahwa hidup tanpa uang adalah sesuatu yang mustahil atau tidak layak. Namun, kita perlu membebaskan diri dari cengkeraman ideologi ini dan menyadari bahwa kebahagiaan sejati dan kehidupan yang bermakna tidak selalu tergantung pada uang. Kita dapat menemukan kebebasan dan kebahagiaan di luar paradigma kapitalis, dengan menghargai nilai-nilai esensial kehidupan yang tidak dapat dibeli dengan uang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...