Langsung ke konten utama

Demokrasi dalam Bayang-bayang Kebodohan dan Kebobrokan Moral

Demokrasi, konsep yang dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang paling adil dan inklusif, seringkali diidamkan oleh banyak negara di seluruh dunia. Namun, realitasnya, demokrasi seringkali tidak berjalan sesuai dengan harapan ketika suatu negara masih dipenuhi dengan kebodohan dan kebobrokan moral di antara warganya, serta di kalangan para pejabatnya. Artikel ini akan menjelajahi bagaimana kebodohan dan kebobrokan moral dapat menghalangi jalannya demokrasi yang sejati, serta mengganggu proses pembangunan masyarakat yang adil dan berkelanjutan.

Kebodohan bukan hanya tentang kurangnya pengetahuan atau pendidikan formal, tetapi juga tentang kurangnya kesadaran akan hak-hak, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai warga negara. Dalam masyarakat yang dipenuhi dengan kebodohan, pemilih mungkin rentan terhadap propaganda, manipulasi politik, dan janji-janji kosong dari para politisi yang tidak bermoral.

Pemilih yang kurang terdidik atau kurang kritis cenderung memilih berdasarkan emosi atau popularitas daripada pemahaman yang mendalam tentang isu-isu politik yang kompleks. Hal ini dapat mengakibatkan terpilihnya para pemimpin yang tidak kompeten atau korup, yang pada gilirannya dapat merusak proses demokrasi dan menghambat kemajuan masyarakat.

Selain kebodohan, kebobrokan moral juga merupakan ancaman serius terhadap demokrasi yang sehat. Ketika pejabat pemerintah, yang seharusnya menjadi pemimpin dan pelayan masyarakat, terlibat dalam praktik korupsi, nepotisme, atau penyalahgunaan kekuasaan, integritas demokrasi menjadi terkikis.

Para pejabat yang tidak bermoral cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok kecil daripada kepentingan publik. Mereka dapat memanipulasi sistem politik dan hukum untuk keuntungan pribadi mereka sendiri, mengabaikan keadilan dan kepentingan masyarakat umum. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi demokratis dapat rusak, dan keterlibatan politik mungkin menurun.

Untuk membangun demokrasi yang sejati, masyarakat harus terlebih dahulu mengatasi hambatan-hambatan yang disebabkan oleh kebodohan dan kebobrokan moral. Pendidikan yang berkualitas dan inklusif menjadi kunci untuk mengurangi tingkat kebodohan di antara warga negara. Pendidikan harus mempromosikan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan tanggung jawab sebagai warga negara.

Selain itu, diperlukan pula penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu terhadap korupsi dan pelanggaran etika oleh pejabat pemerintah. Sistem yang transparan dan akuntabel harus dibangun untuk memastikan bahwa para pejabat bertanggung jawab atas tindakan mereka dan tidak terlindungi oleh kekuasaan atau kedudukan mereka.

Dalam mengejar demokrasi yang lebih berkualitas dan inklusif, penting bagi masyarakat untuk mengakui dan mengatasi tantangan yang dihadapi akibat kebodohan dan kebobrokan moral. Hanya dengan memberdayakan masyarakat melalui pendidikan yang berkualitas dan penegakan hukum yang tegas, kita dapat membangun fondasi yang kuat untuk demokrasi yang sejati.

Demokrasi yang sejati bukanlah hanya tentang pemilihan umum atau kebebasan berekspresi, tetapi juga tentang pemerintahan yang bertanggung jawab, integritas yang kuat, dan partisipasi yang inklusif dari semua warga negara. Hanya dengan upaya bersama untuk mengatasi tantangan ini, kita dapat mencapai visi demokrasi yang sesungguhnya memberdayakan dan melayani masyarakat secara adil dan berkelanjutan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...