Langsung ke konten utama

Kebodohan: Bentuk Tetap dalam Perubahan Zaman

Kebodohan, dalam konteks ini, bukanlah sekadar ketidaktahuan, melainkan ketidakmampuan atau penolakan seseorang untuk menerima kebenaran. Fenomena ini, meskipun berubah bentuk seiring waktu, tetap hadir di setiap era. Artikel ini akan membahas alasan mengapa kebodohan tetap ada dan mencoba untuk memahami peran media dalam membentuk pola pikir manusia.

Dalam menghadapi kebenaran, ada dua kemungkinan reaksi utama: ketidaktauan atau penolakan. Pertama-tama, ada individu yang mungkin tidak tahu atau belum menemukan kebenaran. Kebodohan dalam hal ini bukanlah kesalahan, melainkan peluang untuk pembelajaran. Pendidikan dan pengetahuan dapat mengatasi ketidaktahuan ini, mengubah orang yang kurang tahu menjadi individu yang lebih terinformasi.

Namun, hal yang lebih rumit terjadi ketika seseorang telah mengetahui kebenaran namun memilih untuk menolaknya. Penolakan ini bisa berasal dari berbagai alasan, seperti rasa takut kehilangan keyakinan atau ketidakmampuan untuk menghadapi kenyataan yang sulit diterima. Adanya penolakan ini menjadi salah satu fondasi kebodohan yang sulit diatasi.

Seorang individu mungkin sudah memiliki keyakinan tertentu sebelumnya, dan keyakinan ini dapat menghalangi proses analisis terhadap kebenaran baru. Terlepas dari fakta atau bukti yang disajikan, orang yang sudah terikat dengan keyakinan tertentu cenderung memilih untuk tetap pada pandangan mereka. Hal ini dapat disebabkan oleh rasa nyaman dan keamanan yang diberikan oleh keyakinan tersebut, meskipun keyakinan itu tidak teruji kebenarannya.

Proses analisis yang terhambat oleh keyakinan sebelumnya menjadi salah satu tantangan utama dalam mengatasi kebodohan. Individu tersebut mungkin tidak bersedia membuka diri terhadap perspektif baru atau berubah karena keyakinan yang sudah mapan dalam dirinya.

Media memiliki peran besar dalam membentuk pola pikir masyarakat. Sementara media dapat memberikan wawasan yang luas, terkadang pengaruhnya juga dapat merusak dan mempersempit pandangan. Ketika seseorang terpapar terus-menerus pada informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, media dapat menjadi alat pembentuk opini yang memperkuat kebodohan.

Fenomena ini diperparah ketika media memberikan informasi yang tidak benar atau memutar fakta untuk memenuhi agenda tertentu. Individu yang hanya mengonsumsi satu sumber informasi cenderung memiliki pandangan yang sempit dan sulit menerima perspektif alternatif. Inilah salah satu cara di mana kebodohan dapat terus dipertahankan dan diperkuat melalui media.

Untuk mengatasi kebodohan, perlu adanya upaya kolektif dalam mendidik dan membuka pikiran masyarakat. Pendidikan yang mempromosikan keterbukaan pikiran, analisis kritis, dan penelusuran kebenaran harus diutamakan. Individu harus diajarkan untuk merangkul perubahan dan menerima kebenaran meskipun itu mungkin bertentangan dengan keyakinan sebelumnya.

Selain itu, perlu kesadaran akan dampak media terhadap pola pikir. Konsumsi media yang kritis, pemberdayaan untuk mengidentifikasi informasi yang tidak benar, dan eksposur terhadap berbagai sumber informasi dapat membantu mengurangi pempersempitan pemikiran dan menghindari terperangkap dalam kebodohan.

Dalam menghadapi realitas kompleksitas kehidupan, kebodohan menjadi tantangan abadi yang harus diatasi. Tidak hanya tentang kurangnya informasi, tetapi juga penolakan untuk menerima kebenaran yang sulit diakui. Melalui pendidikan, analisis kritis, dan pemahaman akan pengaruh media, masyarakat dapat bergerak menuju pencerahan dan meruntuhkan tembok kebodohan yang membatasi pemikiran dan pertumbuhan. Hanya dengan upaya bersama, kebodohan dapat dihadapi dan diatasi untuk menciptakan masyarakat yang lebih terinformasi dan terbuka terhadap kebenaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...