Kekecewaan, ya, kau benar. Aku seringkali mengalaminya, seperti gelombang pasang yang datang silih berganti, menghantam pantai hati kita. Dan mengapa selalu terasa sakit? Karena setiap kekecewaan adalah sebuah pengingkaran harapan, sebuah pukulan telak pada ekspektasi yang kita bangun dengan susah payah. Aku membangun istana harapan di atas pasir, dan setiap ombak kekecewaan datang, istana itu runtuh, meninggalkan luka dan berantakan.
Aku berusaha melepaskan diri dari belenggu perasaan yang tak berfikir panjang. Aku mencoba melepaskan diri dari cengkeraman ekspektasi kebahagiaan yang tak realistis. Itu langkah yang bijak, sebuah usaha untuk membebaskan diri dari penjara pikiran sendiri. Namun, realita tetaplah realita. Ia bukan mimpi, walau seringkali aku berharap ia hanyalah mimpi buruk yang akan segera lenyap saat terbangun.
Realita, dengan segala kekejaman dan ketidaksempurnaannya, selalu ada. Ia seperti bayangan yang mengikuti langkah ku, tak pernah meninggalkan sisi kita. Aku berharap ini adalah mimpi, sebuah ilusi yang bisa aku abaikan, aku tolak, aku hindari. Namun, ia nyata, terasa, dan menyentuh setiap serat keberadaan. Dan itulah yang membuat sakit.
Tidur, ya, tidur memang lebih nikmat. Dalam tidur, kita terbebas dari beban realita, dari tuntutan dan kewajiban. Aku melayang dalam dunia khayalan, di mana segala sesuatu mungkin terjadi, di mana aku bisa menjadi siapa pun yang aku inginkan. Tidur adalah pelarian sementara dari realita yang keras dan tak kenal ampun.
Namun, ketika terbangun, aku harus kembali menghadapi realita. Aku harus mengerahkan tubuh yang lelah, untuk melakukan aktivitas yang mungkin aku enggan lakukan, aktivitas yang terasa membosankan dan menjemukan. Aku harus kembali berjuang, bergulat dengan masalah dan tantangan yang tak pernah ada habisnya. Itulah realita yang tak bisa aku hindari.
Kekecewaan bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah bagian dari kehidupan, sebuah pelajaran yang harus kita pelajari. Ia mengajari kita untuk lebih rendah hati, untuk lebih menghargai apa yang kita miliki, dan untuk lebih bijak dalam membangun harapan. Kita harus belajar membangun harapan yang realistis, harapan yang berakar pada realita, bukan pada khayalan. Kita harus belajar menerima realita apa adanya, dengan segala ketidaksempurnaannya. Dan di tengah realita yang keras itu, aku harus menemukan keindahan, menemukan kekuatan, menemukan makna. Karena di sanalah, di tengah ketidaksempurnaan, kita menemukan jati diri kita yang sebenarnya.
Komentar
Posting Komentar