Langsung ke konten utama

Tak Perlu Bangun

 


Kekecewaan, ya, kau benar.  Aku seringkali mengalaminya, seperti gelombang pasang yang datang silih berganti, menghantam pantai hati kita.  Dan mengapa selalu terasa sakit?  Karena setiap kekecewaan adalah sebuah pengingkaran harapan, sebuah pukulan telak pada ekspektasi yang kita bangun dengan susah payah.  Aku membangun istana harapan di atas pasir, dan setiap ombak kekecewaan datang, istana itu runtuh, meninggalkan luka dan berantakan.

Aku berusaha melepaskan diri dari belenggu perasaan yang tak berfikir panjang.  Aku mencoba melepaskan diri dari cengkeraman ekspektasi kebahagiaan yang tak realistis.  Itu langkah yang bijak, sebuah usaha untuk membebaskan diri dari penjara pikiran sendiri.  Namun, realita tetaplah realita.  Ia bukan mimpi, walau seringkali aku berharap ia hanyalah mimpi buruk yang akan segera lenyap saat terbangun.

Realita, dengan segala kekejaman dan ketidaksempurnaannya, selalu ada.  Ia seperti bayangan yang mengikuti langkah ku, tak pernah meninggalkan sisi kita.  Aku berharap ini adalah mimpi, sebuah ilusi yang bisa aku abaikan, aku tolak, aku hindari.  Namun, ia nyata, terasa, dan menyentuh setiap serat keberadaan.  Dan itulah yang membuat sakit.

Tidur, ya, tidur memang lebih nikmat.  Dalam tidur, kita terbebas dari beban realita, dari tuntutan dan kewajiban. Aku melayang dalam dunia khayalan, di mana segala sesuatu mungkin terjadi, di mana aku bisa menjadi siapa pun yang aku inginkan.  Tidur adalah pelarian sementara dari realita yang keras dan tak kenal ampun.

Namun, ketika terbangun, aku harus kembali menghadapi realita.  Aku harus mengerahkan tubuh yang lelah, untuk melakukan aktivitas yang mungkin aku enggan lakukan, aktivitas yang terasa membosankan dan menjemukan.  Aku harus kembali berjuang, bergulat dengan masalah dan tantangan yang tak pernah ada habisnya.  Itulah realita yang tak bisa aku hindari.

Kekecewaan bukanlah akhir dari segalanya.  Ia adalah bagian dari kehidupan, sebuah pelajaran yang harus kita pelajari.  Ia mengajari kita untuk lebih rendah hati, untuk lebih menghargai apa yang kita miliki, dan untuk lebih bijak dalam membangun harapan.  Kita harus belajar membangun harapan yang realistis, harapan yang berakar pada realita, bukan pada khayalan.  Kita harus belajar menerima realita apa adanya, dengan segala ketidaksempurnaannya.  Dan di tengah realita yang keras itu, aku harus menemukan keindahan, menemukan kekuatan, menemukan makna.  Karena di sanalah, di tengah ketidaksempurnaan, kita menemukan jati diri kita yang sebenarnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Diri (Fenomena dan Nomena)

Fenomena adalah sesuatu yang sifatnya nampak dan bisa diamati. Sedangkan nomena adalah sesuatu yang tidak nampak namun bisa diamati. Fenomena itu misalnya seperti kursi, gunung, sungai dan semacamnya, sedangkan nomena seperti ilmu, sifat, pemikiran, emosi dan semacamnya.   Selain dari perwujudannya yang membedakan fenomena dan nomena adalah sisi subjektifitasnya. Fenomena hanya memiliki satu subjek saja yakni apa yang nampak, sedangkan nomena memiliki subjek yang berbeda-beda. Masing-masing orang tentu akan membunyikannya secara berbeda-beda.  Walaupun berbeda, fenomena dan nomena ini memiliki keterkaitan. Suatu fenomena jika dilihat lebih dalam dari sisi nomena maka akan menciptakan fenomena baru. Misalnya ada seorang wanita cantik dan ramah, pada awalnya mungkin kita akan mengira bahwa dia adalah orang yang baik. Tetapi ketika di telusuri dari dalam ternyata tidak seperti fenomenanya. Hal inilah yang membuat kita tertipu dan keliru, kita selalu menyimpulkan bahwa kebena...

Catatan Lapang Riset di Desa Cikeusal (Awal)

. Catatan Awal Sebuah Perjalanan di Bawah Kaki Gunung Kromong Sabtu 20 Maret 2021, pukul 12.30 saya bersama teman saya berangkat dari Pondok Pesantren Ulumuddin menuju desa yang hendak dijadikan aktifitas turun lapang, yakni desa Cikeusal. Diperjalanan tepatnya di Palimanan, kami terjebak hujan, dan memutuskan untuk meneduh di suatu warung. Pukul 13.00 di warung tersebut kita sempat berbincang-bincang sedikit dengan pemiliknya (kami lupa menanyakan namanya). Kami bertanya kepada pemilik warung rute menuju desa Cikeusal. Setelah memberitahu rute, Pemilik warung menceritakan sedikit mengenai desa Cikeusal, bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa binaan dari pabrik Indocement, desa binaan lainnya yaitu Palimanan Barat, Cupang, Walahar, Gempol, Kedungbunder, Ciwaringin. Pada pukul 13.30 kami merasa hujan ini akan awet dan akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju lokasi. Ketika menuju desa Cikeusal terlihat jalanan penuh lubang, dan banyak mobil truk pembawa batu a...

Perlukah Seorang Perempuan Memiliki Pendidikan yang Tinggi

. Dilema Perempuan antara memilih mengurus Keluarga atau Melanjutkan Pendidikan Berbicara tentang perempuan dan pendidikan, tentunya ini menjadi dua hal yang menarik untuk dibicarakan. Sejak puluhan tahun yang lalu emansipasi wanita sering disebut-sebut oleh Kartini, sehingga kemudian hal ini menjadi sesuatu yang penting oleh sebagian kalangan. Namun, pada kenyataannya, dalam banyak hal wanita masih kerap ketinggalan, seolah memiliki sejumlah rintangan untuk bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik, salah satunya dalam bidang pendidikan. Ilustrasi (Pixabay.com) Meski sampai saat ini semua perempuan dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolah seperti halnya pria, namun tidak sedikit juga perempuan yang enggan untuk melakukannya. Sebagian besar wanita merasa puas dengan pendidikan yang hanya menamatkan bangku SMA saja, bahkan ketika bisa menyelesaikan sarjana saja. Hanya sedikit perempuan yang punya keinginan untuk menempuh S2 dan juga S3, dan tentu saja jumlah untuk dua jenjang pendidikan...