Rasa sesak ini, ruang yang terasa sempit, dan waktu yang terus mendesak—semua itu menghimpitku. Andai aku bisa memanipulasi ruang dan waktu, betapa leganya. Bayangan teleportasi ke tempat-tempat terpencil, menikmati keindahan alam tanpa batas, sendirian, terasa begitu menenangkan. Ruang tanpa akhir, hanya aku dan kedamaiannya.
Manipulasi waktu juga menawarkan kelegaan lain. Istirahat tanpa batas, waktu untuk merenung, untuk menata kembali pikiran yang kacau. Kebebasan dari tuntutan sosial, dari hiruk-pikuk kehidupan yang tak pernah berhenti. Kebebasan untuk sekadar ada, tanpa harus berbuat.
Namun, di balik keinginan untuk melarikan diri, ada kesadaran akan realita. Ruang sempit ini juga tempatku berinteraksi, tempatku belajar, tempatku tumbuh. Waktu yang mendesak ini juga yang mendorongku untuk produktif, untuk berkarya, untuk mengalami. Keinginan untuk memanipulasi ruang dan waktu adalah cerminan kerinduan akan kedamaian, namun juga pengakuan akan pentingnya keterbatasan. Keterbatasan yang justru membentuk dan mendewasakanku.
Mungkin, kunci bukan melarikan diri dari ruang dan waktu, melainkan belajar untuk hidup dalam ruang dan waktu ini dengan lebih bijak. Mencari kedamaian di tengah hiruk-pikuk, menemukan kebebasan di dalam keterbatasan. Menerima, dan kemudian, mencipta.
Komentar
Posting Komentar